Reporter: Akmalal Hamdhi | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Indonesia Blockchain Conference (IBC), konferensi blockchain berskala internasional telah digelar di Bali pada 22 Agustus lalu. IBC menjadi momen penting untuk memperluas jaringan internasional dan memperkuat kemitraan lintas negara dalam mengatasi tantangan di ekosistem blockchain dan aset kripto.
Konferensi IBC juga menjadi platform bagi para pelaku industri untuk berbagi ide dan mendiskusikan tren terbaru guna mengembangkan solusi berbasis blockchain yang dapat diimplementasikan di Indonesia maupun secara global, serta mempercepat adopsinya di berbagai sektor industri.
IBC didukung Bank Rakyat Indonesia (BRI) dan Pluang, serta dihadiri oleh sekitar 300 peserta yang terdiri dari pelaku industri, investor, akademisi, dan pemerintah dari berbagai negara diantaranya Singapura, Malaysia, Hong Kong, Jepang, Australia, dan Amerika Serikat.
Ketua Asosiasi Blockchain dan Pedagang Aset Kripto Indonesia, Robby mengapresiasi suksesnya IBC 2024 dan menegaskan komitmen untuk melanjutkan acara ini secara berkelanjutan.
"IBC diharapkan menjadi platform bagi pegiat blockchain untuk berbagi wawasan dan berkolaborasi, sekaligus dapat memfasilitasi dialog antara pemerintah dan industri, baik lokal maupun internasional, guna menciptakan regulasi yang adaptif dan mengakselerasi inovasi pada ekosistem blockchain dan aset kripto," ungkap Roby dalam siaran pers, Kamis (26/9).
Baca Juga: Indodax Dorong Transparansi di Industri Kripto Indonesia
Selain itu, dia menambahkan, hasil diskusi di acara IBC ini diharapkan dapat menarik minat investor untuk mendukung pertumbuhan startup dan proyek berbasis blockchain, sehingga dapat mempercepat kemajuan serta memperkuat pengembangan ekosistem digital.
Adapun IBC membahas berbagai topik relevan terkait teknologi blockchain dan aset kripto, salah satunya diskusi terkait implementasi blockchain di sektor keuangan, yang melibatkan partisipasi dari sejumlah lembaga terkemuka diantaranya Bank Indonesia (BI), McKinsey & Company, serta Bank Rakyat Indonesia (BRI).
Implementasi blockchain di sektor keuangan tersebut membahas peluang dan tantangan Central Bank Digital Currency (CBDC) pada lanskap keuangan digital saat ini, tokenisasi aset, perkembangan Web3, Decentralized Finance (DeFi), dan inovasi sistem pembayaran.
“Kami sedang menjajaki kerja sama internasional untuk mengatasi tantangan dalam transaksi digital," ujar Akhmad Ginulur dari Bank Indonesia (BI).
Selain Bank Sentral, Bank BRI juga tengah mengembangkan proyek percontohan berbasis teknologi blockchain untuk memastikan transparansi dan keamanan dalam transaksi bisnis serta rantai pasokan. BRI merupakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dengan total nasabah 82,2 juta nasabah per Maret 2024 atau setara 29,10% dari total populasi Indonesia saat ini.
"Kami berkomitmen untuk mengeksplorasi Web3 dan mengembangkan solusi berbasis blockchain dengan membentuk tim sertifikasi khusus. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan infrastruktur digital dan kemampuan inovasi kami, serta menciptakan lingkungan yang mendukung perkembangan teknologi,” ujar Nitia Rahmi, Head of Digital Banking Development Department BRI.
Aset kripto turut menjadi salah satu topik yang dibahas di IBC, mengingat popularitasnya yang terus meningkat dengan total pengguna mencapai 20,24 juta pada Juni 2024. Hal ini menegaskan bahwa semakin mendesaknya kebutuhan akan regulasi yang dapat menjamin keamanan dan kepercayaan konsumen.
Pluang, salah satu platform perdagangan aset kripto pertama yang telah mendapatkan lisensi Pedagang Fisik Aset Kripto (PFAK) dari Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti), melihat pentingnya kebakan yang selalu mendukung perkembangan industri dan memberikan perlindungan ke konsumen di Indonesia.
Dalam konferensi IBC tersebut, Stella Lukman selaku Chief Operating Officer (COO) Pluang, menekankan bahwa kerangka regulasi yang dinamis dan adaptif dibutuhkan agar industri tetap relevan dalam menghadapi perubahan cepat di dunia digital.
"Pendekatan yang berpandangan jauh ke depan akan memperkuat daya saing sektor kripto di pasar global, sekaligus menjaga perlindungan bagi konsumen," kata Stella Lukman.
Senior Policy Advisor dari The Commonwealth, Loretta Joseph, juga menekankan bahwa kebijakan progresif sangat diperlukan untuk memacu tren seperti tokenisasi aset nyata (Real World Asset/RWA) dan penggunaan stablecoin. Perkembangan ini menunjukkan betapa pentingnya regulasi yang mampu menyesuaikan diri dengan kemajuan teknologi.
Diskusi menarik lainnya membahas bagaimana setiap negara mengembangkan dan menyesuaikan regulasi blockchain tanpa menghambat inovasi. Panel ini menghadirkan perwakilan Amerika Serikat (AS) dan Malaysia, diwakili Kedutaan Besar Amerika Serikat di Indonesia dan Malaysia Digital Economy Corporation (MDEC).
Kementerian Ekonomi Digital Malaysia menyampaikan bahwa kini Malaysia tengah mengembangkan pedoman untuk menyeimbangkan inovasi dengan perlindungan konsumen dalam ekosistem Web3.
Baca Juga: Jika Anda Investasi US$1.000 Bitcoin 7 Tahun Lalu, Ini Jumlah yang Dimiliki Hari Ini
Pemerintah AS juga menunjukkan dukungannya dengan menginisiasi investasi dalam riset, kemitraan publik-swasta, dan peluncuran proyek percontohan (pilot project) seperti di sektor pembayaran lintas batas dan kesehatan, secara aktif mengeksplorasi manfaat dari teknologi blockchain untuk memperlancar kegiatan operasional, memastikan integritas data, dan meningkatkan efisiensi.
Sejalan dengan hal tersebut, Deputi Direktur Pengembangan Inovasi Teknologi Sektor Keuangan, Aset Keuangan Digital, dan Aset Kripto OJK, Satrio Nugroho menuturkan bahwa Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sedang merancang regulasi untuk mendukung pengembangan teknologi blockchain sekaligus menjaga tata kelola yang baik.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News