Reporter: Nur Qolbi | Editor: Wahyu T.Rahmawati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sebagian kecil indeks sektoral saham masih menunjukkan kinerja negatif. Selain sektor properti dan real estat, sektor barang konsumen primer (consumer non-cyclicals) menjadi salah satu sektor dengan penurunan paling dalam.
Secara year to date (ytd) sampai dengan Kamis (1/9), indeks IDX Sektor Barang Konsumen Primer tercatat minus 16,31%. Indeks ini diisi oleh saham-saham dari berbagai bidang usaha, seperti produsen rokok, CPO, kebutuhan pokok, makanan olahan, hingga produk kecantikan.
Analis Phintraco Sekuritas Valdy Kurniawan mengatakan, dari saham-saham yang ada dalam sektor tersebut, ada beberapa saham yang berkontribusi relatif besar terhadap penurunan indeks ini. Sebut saja PT Unilever Indonesia Tbk (UNVR), PT HM Sampoerna Tbk (HMSP), PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk (ICBP), PT Gudang Garam Tbk (GGRM), PT Indofood Sukses Makmur Tbk (INDF), dan PT Mayora Indah Tbk (MYOR).
Baca Juga: Ini penyebab kinerja Unilever (UNVR) tertekan di semester pertama 2021
Pasalnya, saham-saham tersebut memiliki nilai kapitalisasi pasar (market cap) yang tergolong besar. Secara ytd sampai dengan 31 Agustus 2021, market cap UNVR merosot 44,90% menjadi Rp 154,51 triliun, HMSP minus 33,55% ke Rp 116,32 triliun, ICBP terkoreksi 12,01% menjadi Rp 98,25 triliun, GGRM turun 19,33% ke Rp 63,64 triliun, INDF minus 9,85% menjadi Rp 54,22 triliun, dan MYOR turun 20,66% ke Rp 48,07 triliun.
Penurunan cukup signifikan pada saham-saham ini terjadi bukan tanpa alasan. Menurut Valdy, pengetatan kegiatan masyarakat di Juli 2021 demi memutus rantai penularan Covid-19 menyebabkan keyakinan konsumen (consumer confidence) kembali tertekan. Ini terlihat dari Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) pada Juli 2021 yang turun ke level 80,2 dari 107,4 di bulan Juni dan di bawah batas keyakinan yang berada di level 100.
Meskipun begitu, menurut Valdy, secara historis dampak pembatasan kegiatan masyarakat terhadap keyakinan konsumen tidak berlangsung lama, hanya berkisar 1-2 bulan. Terlebih lagi, pada bulan Agustus 2021 pemerintah sudah mulai melakukan pelonggaran pembatasan kegiatan masyarakat, terutama di wilayah-wilayah aglomerasi yang telah turun dari level 4 ke level 3, termasuk aglomerasi Jabodetabek.
"Pelonggaran ini dapat mendorong peningkatan konsumsi rumah tangga yang selanjutnya dapat memengaruhi percepatan pemulihan ekonomi Indonesia," kata Valdy saat dihubungi Kontan.co.id, Rabu (1/9).
Baca Juga: Ini strategi Unilever (UNVR) di tengah pergeseran bisnis barang konsumsi
Di samping itu, secara historis, keyakinan konsumen maupun data penjualan retail juga umumnya akan mencapai titik tertinggi dalam satu tahun di bulan Desember. "Oleh sebab itu, sektor consumer non-cyclicals masih memiliki potensi revenue booster di akhir tahun," ungkap Valdy.
Analis Pilarmas Investindo Sekuritas Okie Ardiastama menambahkan, koreksi yang terjadi pada saham-saham sektor ini disebabkan oleh beberapa faktor. Mulai dari menurunnya ekspektasi pelaku pasar terhadap prospek bisnis emiten untuk tahun 2021, melemahnya daya beli masyarakat, hingga kehati-hatian masyarakat dalam mengeluarkan pendapatannya.
"Melambatnya kinerja dinilai dapat menurunkan perolehan laba yang juga dapat berdampak pada ekspektasi dividen. Hal tersebut tentu menjadi pertimbangan investor untuk shifting," ucap Okie. Khusus untuk sektor rokok, laju bisnisnya juga terhambat regulasi pemerintah terkait tarif cukai.
Baca Juga: Ini jadwal pembagian dividen Indofood CBP (ICBP) total Rp 2,51 triliun
Saat ini, Okie masih mempertahankan rating netral pada sektor barang konsumen primer. Meskipun begitu, pelaku pasar dapat mempertimbangkan ICBP dan INDF yang dinilai masih dapat bertumbuh di tengah tekanan tersebut. Okie memasang target harga ICBP di Rp 8.900 per saham dan INDF Rp 7.025 per saham.
Bernada serupa, Valdy juga merekomendasikan investor untuk melirik kedua saham ini. Salah satu pertimbangannya adalah peluang ICBP untuk mengoptimalkan kontribusi penjualan produk mi instan di luar negeri, terutama di kawasan Afrika Utara dan Eropa Timur melalui akuisisi Pinehill pada 2020 lalu.
Sementara INDF, sebagai induk ICBP juga dapat diperhatikan karena akan kecipratan peningkatan kinerja ICBP. Sepanjang semester pertama 2021 saja, INDF mencatatkan pertumbuhan laba bersih sebesar 21% yoy menjadi Rp 3,43 triliun. Pencapaian ini sejalan dengan pertumbuhan penjualan neto konsolidasi sebesar 20% yoy menjadi Rp 47,29 pada periode yang sama.
Valdy memasang target harga untuk ICBP di Rp 11.950 per saham dan INDF Rp 8.925 per saham. Pada perdagangan Rabu (1/9), harga saham ICBP turun 0,30% menjadi Rp 8.400 per saham, sementara INDF naik 2,83% ke level Rp 6.350 per saham.
Baca Juga: Indofood Sukses Makmur (INDF) bagi dividen Rp 278 per saham, ini jadwalnya
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News