Reporter: Wafidashfa Cessarry | Editor: Avanty Nurdiana
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Indeks dolar AS (DXY) kembali tertekan di bawah 98 seiring meningkatnya ekspektasi pasar terhadap penurunan suku bunga acuan The Federal Reserve (The Fed) pada 2026.
Mengutip Trading Economics, Kamis (25/12) pukul 14.38 WIB, indeks dolar melemah 0,01% ke level 97,948 secara harian dan turun 1,66% dalam sebulan terakhir.
Kepala Ekonom BCA, David Sumual, menilai tekanan terhadap dolar tidak hanya berasal dari ekspektasi penurunan suku bunga The Fed, tetapi juga dari pergeseran kebijakan bank sentral global lainnya.
“Tekanan pada indeks dolar (DXY), selain karena ekspektasi Fed menurunkan suku bunga, tapi juga karena ekspektasi beberapa bank sentral lain, seperti ECB yang mungkin tidak akan menurunkan, tapi malah menaikan suku bunga, dan BoJ yang dalam tren menaikkan suku bunga,” ujarnya pada Kontan, Selasa (23/12/2025).
Baca Juga: Rupiah Rebound Usai Tertekan Sepekan, Ini Proyeksinya Senin (29/12)
Menurut David, arah pergerakan dolar ke depan akan sangat bergantung pada data ekonomi AS, khususnya inflasi dan tenaga kerja. Ia memperkirakan penurunan suku bunga The Fed bisa berada di kisaran 50–100 basis poin, sehingga ruang penguatan dolar relatif terbatas kecuali terjadi perubahan sikap The Fed yang jauh lebih dovish.
Sejalan dengan itu, Kepala Ekonom Permata Bank, Josua Pardede, menilai pelemahan dolar saat ini mencerminkan keyakinan pasar terhadap arah kebijakan moneter AS, namun tekanannya cenderung terbatas dalam jangka dekat. Ia memproyeksikan indeks dolar hingga awal Januari 2026 akan bergerak dalam kisaran, dengan area penahan di sekitar 98,30 dan 97,80, serta batas atas 99,30–100,40.
“Namun jika rangkaian data ekonomi AS benar benar melemah dan penurunan suku bunga 2026 makin jelas, proyeksi setahun penuh 2026 tetap condong ke dolar yang lebih lunak, dengan indeks dolar berpotensi turun ke area pertengahan 90, yakni kisaran 94–97,” kata Josua.
Pelemahan dolar tersebut pada prinsipnya memberikan sentimen positif bagi mata uang negara berkembang, termasuk rupiah. David menilai dampak pelemahan DXY ke rupiah sejauh ini belum terlalu signifikan karena lebih dipengaruhi oleh kebijakan bank sentral global lainnya. Namun, skenario The Fed yang semakin dovish akan menjadi katalis positif bagi rupiah.
“Salah satu faktor yang bisa mendorong rupiah menguat jika ada aliran asing dana masuk. Jadi, kemungkinan rupiah hanya lebih mengandalkan kondisi global saja,” ujar David. Ia memperkirakan penguatan rupiah, jika terjadi, akan relatif terbatas di kisaran Rp 16.600–Rp 16.700 per dolar AS.
Josua juga melihat momentum penguatan rupiah di awal 2026 tetap terbuka, meskipun cenderung bertahap. Ia menyebut pelemahan dolar dapat mengurangi tekanan nilai tukar dan memperbesar peluang arus masuk modal asing. Namun, penguatan rupiah berpotensi tertahan oleh faktor domestik seperti arah fiskal dan selisih suku bunga.
Baca Juga: BRI Danareksa Tetapkan Target IHSG Capai 9.440 hingga Akhir Tahun 2026
Josua memproyeksikan rupiah berpeluang menguat menuju level Rp16.450 per dolar AS pada triwulan pertama 2026 dan mendekati Rp16.350 pada triwulan kedua, apabila pelemahan dolar berlanjut. Untuk jangka lebih panjang, rupiah diperkirakan bergerak menguat terbatas di kisaran Rp 16.200–Rp 16.400 pada akhir 2026.
Selanjutnya: Fokus ke Bisnis Inti, BP Jual 65% Saham Castrol Senilai Rp 100 Triliun
Menarik Dibaca: Cara Menyiapkan Uang Panai Besar Tanpa Harus Korbankan Uang Keluarga
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News













