kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.520.000   12.000   0,80%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Impor Aluminium Rusia Dipatok Biaya Tinggi oleh AS, Minim Dampak ke Harga


Kamis, 09 Februari 2023 / 17:57 WIB
Impor Aluminium Rusia Dipatok Biaya Tinggi oleh AS, Minim Dampak ke Harga
ILUSTRASI. AS ingin mematok tarif impor aluminium buatan Rusia menjadi 200%.


Reporter: Akmalal Hamdhi | Editor: Wahyu T.Rahmawati

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Harga aluminium tidak terpengaruh signifikan oleh agresivitas Amerika Serikat (AS). Seperti diketahui, AS ingin mematok tarif impor aluminium buatan Rusia menjadi 200%.

Chief Analist DCFX Futures Lukman Leong mencermati, langkah AS tersebut sangat jelas bagian dari ketegangan tensi antara Rusia dan Barat. Walaupun AS mengatakan hal ini adalah respons untuk anti dumping.

"Ini lebih kepada kepentingan politik," ujar Lukman kepada Kontan.co.id, Kamis (9/2).

Lukman bilang, impor aluminium dari Rusia pun sudah sangat kecil dalam setahun terakhir, sehingga dampak pada harga masih minimal. Sebagai contoh di bulan September dan Oktober ketika impor dari Rusia terhenti hingga ke nol persen, harga hanya bergerak fluktuatif.

Baca Juga: Ini Tujuan AS Memberlakukan Tarif Tinggi terhadap Aluminium Rusia

Impor aluminium dari Rusia sekarang hanya berkisar 3% dari total impor AS. Jadi dampaknya tidak akan signifikan bagi harga aluminium global.

Begitu pula, lanjut Lukman, dampak pada logam lain juga seharusnya minimal, mengingat tidak ada logam substitusi sejenis untuk itu.

Founder Traderindo Wahyu Tribowo Laksono sepakat bahwa dampak dari bea masuk tinggi bagi produk aluminium Rusia berdampak minimal bagi harga aluminium, ataupun harga komoditas mineral.

Peluang ditutupnya impor atau setidaknya tarif yang luar biasa tinggi seharusnya sudah diantisipasi mengingat wacana ini pernah mencuat tahun lalu. Di sisi lain, AS memang tidak tergantung kepada aluminium Rusia.

Baca Juga: AS akan Tetapkan Tarif Tinggi bagi Impor Aluminium Rusia, Ini Efeknya ke Harga Global

Wahyu mencermati, yang diincar AS bukan soal aluminium atau Rusia secara langsung. Target terbesar di sini adalah Rusal yaitu produsen aluminium terkemuka dunia, yang didirikan oleh miliarder yang terdaftar di Forbes, Oleg Deripaska.

"Jika AS melanjutkan dan mengenakan tarif pada aluminium Rusia, kemungkinan akan berdampak terbatas pada pasar global," kata Wahyu kepada Kontan.co.id, kemarin.

Menurut Wahyu, fluktuasi harga aluminium sangat potensial di tahun ini. Pembukaan kembali (reopening) China pasca pandemi bakal menjadi pendukung utama naiknya harga. Selain itu, ancaman inflasi, agresivitas Fed dan penguatan dolar AS mulai mereda turut menopang harga logam mineral ini. 

Konflik geopolitik masih ada walaupun bisa diantisipasi. Tapi ancaman negatif resesi global masih belum sirna.

Baca Juga: Harga Emas Antam Hari Ini Naik Rp 5.000 Menjadi Rp 1.033.000 Per Gram, Kamis (9/2)

Wahyu menuturkan, The Fed mulai menyadari dampak pengetatan terhadap ekonomi global yang bisa memicu krisis. Walaupun suku bunga tinggi masih bertahan, namun outlook kenaikan mulai mereda.

Alhasil, turunnya agresivitas The Fed sangat melegakan pasar yang memicu bullish komoditas. Di sisi lain, pasar menunggu pulihnya China pasca kebijakan nol-Covid untuk memicu reli komoditas berbasis luas.

Langkah tersebut dianggap Wahyu dapat memicu siklus bullish pada komoditas terutama logam mineral. Misalnya harga tembaga baru-baru ini didorong oleh penguatan ekonomi Tiongkok dan harapan kebijakan fiskal yang kurang agresif dari Federal Reserve.

Tembaga pun masih potensial menguat karena adanya pergeseran global bertahap ke kebijakan net zero emission. Hal itu mengingat logam adalah komponen inti dalam pembuatan baterai kendaraan listrik dan turbin angin.

"Kombinasi dari keterbatasan pasokan jangka pendek dan permintaan terkait transisi energi jangka panjang akan mendorong logam merah menguat tahun ini," imbuh Wahyu.

Baca Juga: Harga Nikel Melemah Selama Januari 2023, Ini Penyebabnya

Hampir sama halnya dengan tembaga, harga nikel bakal ditopang oleh permintaan untuk teknologi. Sebagian besar kebutuhan akan didorong oleh sektor baterai.

Wahyu bilang, banyak produsen dan pengguna akhir di pasar juga memperkirakan bahwa permintaan sektor baterai terhadap nikel akan meningkat secara substansial, yang diperkirakan mendekati 35% dari total permintaan pada tahun 2030.

Indonesia juga sangat signifikan pengaruhnya sebagai produsen terbesar nikel dunia. Pelarangan ekspor tentu bisa mempengaruhi harga. Jika permintaan ada namun suplai berkurang, maka bisa memicu harga naik.

"Nikel adalah logam kritis yang penting dalam banyak teknologi energi bersih, dengan perkiraan permintaan akan melonjak di tahun-tahun mendatang," kata Wahyu.

Baca Juga: Harga Komoditas Logam Industri Naik pada Awal Tahun, Bagaimana Prospeknya ke Depan?

Sementara, lanjut Wahyu, harga timah akan didukung oleh kesulitan rantai pasokan, kekurangan energi, dan penutupan smelter. Kondisi itu membuat kebutuhan akan timah terus meningkat.

Lonjakan permintaan dari pasar kendaraan listrik dan peningkatan aplikasi di industri listrik dan elektronik akan menjadi faktor utama bagi harga timah. Harga timah juga naik makin kuat oleh isu Indonesia yang melarang ekspor timah.

Wahyu memperkirakan rata-rata harga aluminium bakal berkisar US$ 2.000 per ton-US$ 3.300 per ton. Tembaga akan berkisar US$ 6.000 per ton-US$ 11.000 per ton, Timah di level antara US$ 17.000 per ton-US$ 45.000 per ton. Serta, nikel diprediksi berkisar US$ 20.000 per ton-US$ 33.000 per ton di tahun 2023.

Sementara, Lukman memproyeksikan harga aluminium bakal berkisar US$ 2.800 per ton, tembaga US$ 9.800 per ton, timah US$ 28.000 per ton, dan nikel US$ 32.000 per ton.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×