Reporter: Krisantus de Rosari Binsasi | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. PT Sampoerna Agro Tbk (SGRO) berencana meningkatkan kinerja pada sisa tahun 2018 ini. Namun banyak tantangan yang harus dihadapi.
Misal, SGRO memperkirakan persedian crude palm oil (CPO) di bulan mendatang akan menurun sehingga akan berimbas pada kinerja di akhir tahun. Harga jual rata-rata pun akan turun. Makanya, strategi SGRO mendongkrak kinerja adalah dengan melakukan efisiensi biaya produksi.
Head Of Investor Relations SGRO Michael Kesuma mengatakan, kinerja secara tahunan terutama dari sisi penjualan turun 10% year on year (yoy) per September 2018 karena seluruh harga komoditas termasuk kelapa sawit ikut turun. "Meskipun begitu, pada saat yang sama volume penjualan minyak sawit (CPO) milik SGRO pada periode September 2018 meningkat sebesar 4% yoy menjadi 246.000 ton," jelasnya kepada kontan.co.id, Jumat (26/10).
Namun secara triwulan, ia bilang, kinerja SGRO naik cukup signifikan karena pada kuartal III tahun ini ada peningkatan penjualan CPO sebesar 45% menjadi Rp 322,17 miliar dari Rp 222,60 miliar pada kuartal sebelumnya.
Sedangkan, kalau dilihat secara year on year, penjualan CPO pada periode sembilan bulan pertama 2018 memang turun 6% menjadi Rp 1,85 triliun dari Rp 1,97 triliun pada periode sama di tahun lalu. Hal itu disebabkan karena hingga kuartal III 2018, harga jual rata-rata CPO turun 9% yoy menjadi Rp 7.528 per kg dari Rp 8.314 per kg pada periode sama di tahun lalu.
Michael melanjutkan, pada triwulan III 2018 merupakan periode panen tinggi bagi SGRO dengan lonjakan volume yang didukung pemulihan produksi sebagaimana telah diantisipasikan sebelumnya. Kegiatan truk pengangkut hasil panen pun terlihat sibuk sepanjang kuartal III 2018. Hal tersebut berdampak pada aktivitas pengolahan di seluruh pabrik kelapa sawit SGRO.
Alhasi, jumlah waktu pengolahan CPO di pabrik SGRO pada kuartal III 2018 mencapai 44% lebih tinggi dari kuartal sebelumnya. Ini seiring volume produksi minyak sawit SGRO yang meningkat hingga 134.268 ton pada kuartal III tahun ini atau 54% lebih tinggi dibandingkan kuartal II 2018.
"Sebagian besar kenaikan produksi pada triwulan ketiga tahun ini terjadi pada kebun di wilayah Sumatra Selatan yang membukukan lonjakan produksi minyak sawit 74% lebih tinggi dibandingkan kuartal II 2018. Pada periode yang sama, kebun di wilayah Kalimantan turut membukukan kenaikan produksi minyak sawit sebesar 14% seiring siklus panen puncak yang tengah berlangsung," kata Michael.
Lebih lanjut, ia menerangkan, lonjakan kinerja operasional pada kuartal III 2018 menjadi faktor utama yang mendongkrak kinerja keuangan SGRO, kendati pada saat itu harga jual komoditas menurun. Penopangnya, dari volume penjualan CPO pada triwulan ketiga 2018 yang melonjak 61%.menjadi 111.000 ton dari 68.800 ton pada triwulan sebelumnya.
"Penjualan minyak sawit menyumbang 82% dari total penjualan konsolidasi pada kuartal III 2018, yakni mencapai Rp 951,90 miliar atau 43% lebih tinggi dari Rp 665,81 yang dibukukan pada kuartal II 2018," imbuhnya.
Stok sawit
Michael bilang, pada kuartal III 2018, SGRO memiliki stok sawit sebanyak 23.268 ton. Dengan estimasi harga per kilogram senilai Rp 7.000, maka SGRO akan mengantongi dana sebesar Rp 162,87 miliar pada kuartal IV 2018 nanti.
SGRO juga mencatat total produksi minyak sawit sebesar 289.484 ton pada sembilan bulan pertama 2018, atau 29% lebih tinggi dibandingkan periode yang sama di tahun sebelumnya. Sementara total produksi tandan buah segar inti (TBSI) pada kuartal III 2018 naik 26% menjadi 792.466 ton, dan total produksi tanda buah segar eksternal (TBSE) tumbuh 34% menjadi 605.810 ton.
Namun, kata Michael, lonjakan volume produksi yang terjadi pada kuartal III 2018 tidak sepenuhnya terealisasi pada kinerja keuangan SGRO. "Hal tersebut diakibatkan adanya peningkatan jumlah persediaan di akhir September, sebagai dampak dari permasalahan logistik yang terjadi pada industri sawit secara nasional, khususnya di tengah periode panen sedang memuncak," jelasnya.
Maka Michael bilang, strategi yang akan dilakukan SGRO ke depan adalah berupaya memberikan hasil yang optimal secara operasional. "Terutama kami akan terus genjot hasil kinerja kebun, mengingat harga komoditas tak bisa diprediksi pergerakannya," ujarnya.
Ia berharap kebijakan-kebijakan pemerintah seperti B20 bisa berjalan efektif dan harga CPO dapat kembali bergerak naik sehingga bisa membantu memperbaiki kinerja.
Namun karena harga komoditas banyak ditentukan faktor eksternal, maka strategi utama SGRO adalah memaksimalkan kinerja operasional dengan meningkatkan pengelolaan kebun. "Misalnya kami akan terus berupaya meningkatkan produktivitas dan kualitas tanaman yang terbaik, lewat riset kami dengan PT Sriwijaya untuk menghasilkan bibit-bibit kelapa sawit yang unggul," tuturnya.
Upaya SGRO yang lain adalah melakukan diversifikasi baik secara geografi yaitu dengan terus mengembangkan perkebunan kelapa sawit di Sumatra dan Kalimantan serta melebarkan sayap ke segmen bisnis lain seperti sagu maupun karet.
"Karet saat ini belum ada kontribusinya karena membutuhkan waktu 7 tahun, sementara kami baru kembangkan sejak tahun 2013 yang lalu. Jadi baru bisa berkontribusi pada tahun 2020 nanti," imbuhnya.
Sedangkan untuk sagu, Michael bilang, saat ini kontribusinya bagi pendapatan SGRO baru sebesar 1%. Sementara dari bank kernel sebesar 15% dan dari budidaya kecambah milik PT sriwijaya sebesar 2%.
Soal belanja modal atau capital expenditure (capex) tahun ini, ia mengatakan, sudah terserap semuanya. "Tahun ini belanja modalnya sebesar US$ 38 juta, sebanyak 50% dipakai untuk pengembangan aset perkebunan dan 50% lainnya untuk aset tetap seperti mendirikan pabrik, jalan, kantor dan perumahan karyawan," ungkapnya.
Selanjutnya pada kuartal IV tahun ini, kata Michael, akan ada penambahan sekitar US$ 10 juta lagi belanja modal, sehingga total capex 2018 akan menjadi US$ 48 juta atau meningkat 2% jika dibandingkan dengan capex tahun lalu yang sebesar US$ 47 juta.
Di akhir tahun 2018, SGRO masih optimistis dengan target yang sudah ditetapkan sebelumnya. Sebelumya, SGRO menargetkan volume produksi naik 15% hingga 20% dari 322.761 ton pada akhir 2017.
"Targetnya tetap on the track sejauh ini dan diharapkan kinerja secara operasional bisa lebih maksimal pada akhir tahun nanti," tambahnya.
Sementara untuk rencana membangun pabrik biodiesel, belum akan dilakukan dalam waktu dekat. "Saat ini, SGRO masih fokus untuk melakukan pengembangan usaha terutama segmen upstream seperti perkebunan kelapa sawit, sagu dan karet. Bila nanti sudah bisa menghasilkan, maka kami akan mencoba ke downstream seperti biodiesel," ujarnya.
Lalu soal rencana ekspansi tahun depan, ia belum bisa memberikan penjabaran secara detail dengan alasan masih dalam perencanaan dan proses finalisasi. "Rencananya tetap akan fokus ke ekspansi usaha dengan kisaran dana sebesar US$ 40 juta hingga US$ 50 juta," lanjutnya.
Sekadar info, SGRO membukukan penurunan total penjualan 10% menjadi Rp 2,28 triliun hingga September 2018. Padahal pada periode sama tahun lalu SGRO mampu mencatatkan penjua;an Rp 2,53 triliun.
Penjualan minyak sawit yang menjadi penyumbang terbesar, turun 6% yoyo menjadi Rp1,85 triliun. Kenaikan volume penjualan yang sebesar 4% tidak mampu mengimbangi penurunan harga jual yang mencapai sebesar 9%.
Sementara, beban pokok penjualan pun turun 8% menjadi Rp 1,68 triliun dari Rp 1,83 triliun pada periode sembilan bulan pertama tahun lalu. Alhasil, laba bersih SGRO turun 17% menjadi Rp 168,84 miliar pada periode September 2018 dari Rp 203,49 miliar pada periode September tahun lalu.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News