Reporter: Pulina Nityakanti | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) diprediksi bakal melampaui level 7.000 pada akhir 2023. Lalu, bagaimana sebenarnya pergerakan IHSG selama kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Research & Consulting Manager Infovesta Utama, Nicodimus Anggi mengatakan, sejak tanggal pelantikan Presiden Jokowi pada 20 Oktober 2014 hingga 16 Agustus 2023 lalu, IHSG telah menguat sebesar 36,90%.
Menurut Nico, pergerakan bursa selama 2 periode kepemimpinan Presiden Jokowi dibayangi dua hal besar yang menekan kinerja IHSG. Dua hal itu adalah perang dagang AS-China dan Pandemi Covid-19 yang membuat IHSG sempat drop hingga ke level 3.937,63 pada 24 Maret 2020.
Baca Juga: IHSG Diprediksi Bisa Melampaui Level 7.000 pada Akhir Tahun 2023
“Namun, kebijakan pemerintahan Jokowi yang tidak memberlakukan lockdown dan menggencarkan vaksinasi membuat IHSG cepat pulih ke level hari ini,” ujarnya kepada Kontan, Jumat (18/8).
Nico mengatakan, IHSG bahkan juga pernah mencapai level tertinggi di saat pemerintahan Presiden Jokowi, yaitu di level 7.318,02 pada tanggal 13 September 2022.
Kemudian, pada 15 September 2022, IHSG sempat mencatat all time high di sesi 1 ke level 7.363,42. Namun, pada penutupan perdagangan hari itu ditutup di level 7.305,60. Sentimennya adalah semakin pulihnya ekonomi Indonesia pasca pelonggaran ekonomi dengan beberapa rilis data makro yang menguat.
“Lalu, ditambah dengan masih boomingnya harga komoditas pada pertengahan September 2022, yang mendongkrak kinerja harga saham sektor energi,” katanya.
Baca Juga: IHSG Diproyeksi Menguat Terbatas, Cermati Saham Rekomendasi Analis, Senin (20/8)
Nico menuturkan, jumlah investor saham selama periode kepemimpinan Jokowi juga meningkat, khususnya investor ritel. Selain itu, jumlah emiten IPO dan dana yang masuk ke pasar modal dari IPO juga terus mencatatkan pertumbuhan signifikan.
Kebijakan pro investasi dan kebijakan cepat tanggap pada penanganan Pandemi COVID-19 di Tanah Air juga membuat IHSG cepat untuk recover dibanding beberapa saham negara lain.
“Sementara, hal yang sempat menjadi sentimen negatif bagi perkembangan bursa kita adalah pencabutan subsidi, khususnya subsidi bahan bakar minyak (BBM),” tuturnya.