Reporter: Sugeng Adji Soenarso | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. BNI Sekuritas memproyeksikan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ada di level 7.400 pada akhir tahun 2022.
Equity Analyst BNI Sekuritas Aurellia Setiabudi menuturkan, untuk tahun ini ada beberapa saham yang menarik untuk dicermati.
Pertama, PT Astra International Tbk (ASII) dengan target harga Rp 7.500. Hal tersebut didasari tren penjualan yang baik.
"Tahun ini penjualan bulanan mereka naik 50.000 unit per bulan, market share ASII juga terus tumbuh," ujarnya dalam Media Gathering BNI Sekuritas di Jakarta, Kamis (31/3).
Kedua, PT Bank Mandiri (Persero) Tbk (BMRI) dengan target harga di Rp 8.400 per saham. Menurutnya, return on equity (ROE) BMRI menjadi salah satu yang tercepat di antara bank BUMN.
Ketiga, PT Jasa Marga (Persero) Tbk (JSMR) dengan target harga Rp 5.000 per saham.
Aurellia menilai, saham JSMR akan mendapatkan momentum seiring dengan meningkatnya mobilitas masyarakat menjelang Idul Fitri.
Baca Juga: BNI Sekuritas Proyeksikan IHSG Capai Level 7.400 di Akhir 2022
Keempat, PT XL Axiata Tbk (EXCL) degan target harga Rp 3.770, karena baru mengakuisisi PT Link Net Tbk. (LINK).
"Hal ini akan menaikkan laba EXCL dan EXCL akan mendapatkan peluang pertumbuhan pelanggan dari konsolidasi operator," katanya.
Kelima, PT Mitra Adiperkasa Tbk (MAPI) dengan target harga Rp 990. Aurellia menilai momentum lebaran dan pelonggaran mobilitas akan memberikan dampak positif ke MAPI.
Selanjutnya, PT Vale Indonesia Tbk (INCO) dengan target harga Rp 6.500 yang didukung harga nikel yang terus naik akan menguntungkan INCO sebagai salah satu tambang nikel terbesar di dunia.
Kemudian, PT Adi Sarana Armada Tbk (ASSA) dengan target harga Rp 4.100. Menurutnya, bisnis Anteraja akan memberikan dampak positif ke ASSA.
Terakhir, PT Summarecon Agung Tbk (SMRA) dengan target harga Rp 1.200 lantaran permintaan properti di tahun ini cukup tinggi.
Di sisi lain, BNI Sekuritas melihat beberapa sektor yang underweight, yakni sektor manufaktur makanan dan sektor kesehatan. Hal ini berkorelasi dengan isu harga komoditas makanan yang melambung tinggi dan di saat bersamaan menjadi penekan harga.
"Kami melihat kekuatan emiten menaikkan harga itu kecil karena mereka harus mempertimbangkan daya beli masyarakat sehingga profit mereka turun, margin turun, dan belum akan selesai pada 2022," ujarnya.
Sementara itu untuk sektor kesehatan karena Indonesia memulai masa transisi dan pemerintah telah memantapkan untuk beralih dari status pandemi ke endemi.
Karenanya, Aurellia memproyeksikan pendapatan emiten di sektor kesehatan akan mengalami normalisasi dan pertumbuhan laba tahun ini juga akan melambat.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News