kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 2.122.000   32.000   1,53%
  • USD/IDR 16.630   72,00   0,43%
  • IDX 8.051   42,68   0,53%
  • KOMPAS100 1.123   6,98   0,62%
  • LQ45 810   0,68   0,08%
  • ISSI 279   2,38   0,86%
  • IDX30 423   1,81   0,43%
  • IDXHIDIV20 485   2,83   0,59%
  • IDX80 123   0,38   0,31%
  • IDXV30 132   0,38   0,29%
  • IDXQ30 135   0,57   0,43%

Himbara Diguyur Likuiditas, Simak Rekomendasi Saham Sektor Perbankan Berikut


Minggu, 21 September 2025 / 15:27 WIB
Himbara Diguyur Likuiditas, Simak Rekomendasi Saham Sektor Perbankan Berikut
ILUSTRASI. Langkah Menteri Keuangan mengucurkan dana sebesar Rp 200 triliun menjadi pedang bermata dua bagi saham di sektor perbankan. KONTAN/Cheppy A. Muchlis/19/09/2025


Reporter: Chelsea Anastasia | Editor: Herlina Kartika Dewi

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Langkah Menteri Keuangan mengucurkan dana sebesar Rp 200 triliun menjadi pedang bermata dua bagi saham di sektor perbankan, terutama bank-bank emiten Danantara.

Diketahui, untuk memperkuat likuiditas perbankan, Menkeu Purbaya menerbitkan KMK No. 276/2025 yang mengatur penempatan dana negara pada bank BUMN tertentu.

Dana tersebut ditempatkan dalam bentuk On Call Deposit dengan tingkat bunga 3,8% atau sekitar 80% dari suku bunga acuan Bank Indonesia (BI) sebesar 4,75%, dengan tenor enam bulan yang dapat diperpanjang.

Suntikan dana jumbo ini dialokasikan ke PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI), PT Bank Mandiri Tbk (BMRI), dan PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI) masing-masing sebesar Rp 55 triliun, ke PT Bank Tabungan Negara Tbk (BBTN) sebanyak Rp 25 triliun, serta ke PT Bank Syariah Indonesia (BRIS) sejumlah Rp 10 triliun.

Baca Juga: Kinerja Saham Big Banks Jumat (19/9): BBCA Menguat, BBNI Melemah

Pemerintah menegaskan, dana harus disalurkan dalam bentuk kredit dan tidak bisa untuk membeli obligasi atau Surat Berharga Negara (SBN). Hal ini guna memperkuat upaya bank emiten Danantara mendorong pertumbuhan kredit produktif.

Namun demikian, Head of Research Samuel Sekuritas Indonesia, Prasetya Gunadi mencermati, kebijakan ini bukan tanpa risiko.

“Efektivitas penyaluran dana Rp 200 triliun sangat bergantung pada kualitas penyaluran kredit dan distribusi sektoral, terutama ke UMKM dan sektor prioritas,” ujarnya dalam riset Jumat, (19/9/2025).

Prasetya melihat, dengan tenor hanya enam bulan (dapat diperpanjang) dan lemahnya permintaan kredit dari korporasi maupun rumah tangga, ekspansi kredit jangka pendek pun tetap terbatas.

Selain itu, jika penyaluran kredit tertahan, bank justru akan menanggung beban bunga lebih tinggi dari penempatan deposito ini. Hal ini kemudian berpotensi menekan NIM (Net Interest Margin).

Lebih jauh, jika bank didorong untuk menyalurkan kredit secara agresif terutama ke UMKM yang momentum pertumbuhannya lambat, maka dapat memperbesar risiko penurunan kualitas aset.

Menurut Prasetya, hal ini bisa berujung pada kenaikan NPL dan penurunan margin dalam jangka panjang.

Analis Kiwoom Sekuritas Indonesia, Miftahul Khaer pun bilang, tambahan dana ini harus dilakukan secara hati-hati. “Dorongan agresif tanpa diimbangi kualitas debitur berpotensi meningkatkan risiko aset bermasalah,” jelas Miftahul kepada Kontan, Jumat (19/9/2025).

Baca Juga: Rekomendasi Saham BMRI Usai Memaparkan Kinerja Semester I 2025

Analis BRI Danareksa Sekuritas, Victor Stefano, sependapat. Dalam riset 15 September 2025, ia menilai, risiko terhadap NIM dan kualitas aset dapat meningkat terutama jika pertumbuhan ekonomi tetap stagnan pasca-stimulus.

Lebih lanjut, Victor juga menyorot larangan pembelian SBN dari kucuran dana. “Implementasinya tak akan mudah,” imbuhnya.

Pasalnya, tambahan likuiditas ini memungkinkan bank tetap menyalurkan kredit baru, sementara dana yang semula untuk kredit jatuh tempo dapat dialihkan ke SBN.

Pemerintah juga dapat menetapkan bidikan pertumbuhan kredit tertentu bagi bank. Namun, Victor melihat, bila penyaluran kredit dipacu terlalu cepat, bank perlu meningkatkan risk appetite. Di mana, ini juga meningkatkan risiko menurunnya kualitas aset.

“Dalam hal ini, NIM juga berpotensi mengalami penurunan tipis, kecuali untuk BBTN yang memiliki biaya dana (Cost of Fund/CoF) lebih tinggi dari 4%,” terangnya.

Di sisi lain, kebijakan ini positif untuk CoF jika tak ada kewajiban mencapai target kredit. Dalam skenario ini, analisis Victor, CoF dapat turun 1–13 basis poin (bps) dengan BBTN menjadi yang paling diuntungkan. “Mengingat suku bunga deposito berjangka BBTN yang relatif tinggi,” jelasnya.

Lebih jauh, jika bank mengganti deposito mahal (misalnya, di level 6,5%) dengan dana ini, CoF dapat turun sebesar 8–16 bps. Dalam hal ini, Victor mencatat, BBNI dan BBTN berpotensi jadi penerima manfaat terbesar lantaran porsi dana negara yang signifikan dibanding total deposito mereka.

Senada, menurut Prasetya, manfaat terbesar akan dirasakan bank yang bergantung pada deposito berjangka mahal seperti BBNI, BBRI, dan BBTN. Sebab, penempatan likuiditas ini memungkinkan repricing deposito yang lebih efisien. Kendati begitu, Prasetya menilai, secara keseluruhan CoF masih bisa naik sekitar 3 bps.

Baca Juga: Usai Paparan Kinerja, Bagaimana Arah Pergerakan Saham Bank Mandiri (BMRI)?

Adapun secara sektor, ia memperkirakan, Loan to Deposit Ratio (LDR) akan membaik sekitar 420 bps menjadi rata-rata 92,6%. “Sehingga, hal ini dapat memberikan ruang tambahan dalam neraca untuk pertumbuhan kredit,” imbuh Prasetya.

Sementara itu, menurut Miftahul, BBRI dan BMRI menjadi yang paling prospektif, didukung profil likuiditas dan kualitas asetnya relatif lebih terjaga.

“Sedangkan BBTN perlu lebih aware, mengingat fokus bisnisnya di KPR yang sensitif terhadap fluktuasi suku bunga,” katanya.

Katalis Suku Bunga Acuan

Miftahul melanjutkan, pemangkasan suku bunga acuan BI ke level 4,75% pada hasil RDG BI 16–17 September lalu juga menjadi sentimen positif lainnya bagi emiten bank.

“Penurunan suku bunga berpotensi mendorong CoF yang lebih ringan ke depannya,” lanjutnya.

Prasetya menambahkan, pemangkasan suku bunga BI sebesar 50 bps dalam sebulan terakhir menjadi katalis jangka pendek–menengah bagi pertumbuhan kredit, terutama pada segmen korporasi dan UMKM. Mengingat, penurunan bunga pinjaman dapat memicu permintaan refinancing.

Memandang risiko pada NIM dan kualitas aset yang masih signifikan, Prasetya bilang, pihaknya hanya menaikkan rating sektor bank ke Netral dari Underweight. Dalam sektor, ia menjagokan PT Bank Central Asia Tbk (BBCA), didukung oleh biaya kredit atau Cost of Credit (CoC) yang rendah di level 0,5%. Prasetya menyarankan beli BBCA dengan bidikan harga Rp 9.600 per saham, serta beli BBRI dengan target harga Rp 5.000 per saham.

Victor juga memberikan peringkat Netral untuk sektor dan merekomendasikan beli BBCA sebagai pilihan utama, dengan target harga Rp 11.900 per saham. Ia juga menyarankan beli BMRI dengan target harga Rp 5.900 per saham.

Sementara itu, Miftahul merekomendasikan accumulate buy BBRI dan BMRI dengan target harga masing-masing Rp 4.720 dan Rp 6.300 per saham.

"Investor patut memantau arah kebijakan moneter lanjutan, kualitas pertumbuhan kredit, serta tren dana pihak ketiga di tengah persaingan ketat perbankan," pungkas Miftahul.

Selanjutnya: Blibli (BELI) Resmi Jual Huawei Pura80 Series, Tawarkan Promo Berikut Ini

Menarik Dibaca: 5 Tanaman Pembawa Sial yang Harus Disingkirkan dari Rumah, Ada Mawar!

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×