Reporter: Namira Daufina | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Data manufaktur China yang akan rilis dinilai tidak cukup baik untuk menopang harga logam industri. Antisipasi terhadap data-data tersebut menyeret lemah harga tembaga di awal pekan.
Mengutip Bloomberg, Senin (29/5) pukul 13.35 WIB harga tembaga kontrak pengiriman tiga bulan di London Metal Exchange merosot 1,06% ke level US$ 5.597,53 per metrik ton dibanding hari sebelumnya. Harga ini pun sudah tergerus 1,84% dalam sepekan terakhir.
Ibrahim, Direktur PT Garuda Berjangka menjelaskan saat ini tekanan fundamental pada harga tembaga cukup besar. Pertama, di akhir pekan lalu sajian data prelim pertumbuhan ekonomi AS kuartal satu 2017 yang tumbuh signifikan sebesar 2,1% jelas melambungkan posisi USD. Jelas hal ini memojokkan harga komoditas yang diperdagangkan dengan USD seperti tembaga.
Tidak berhenti di situ, data PMI manufaktur China Mei 2017 diduga juga sedikit melambat dari 51,2 menjadi 51,0. Jika hal ini benar terjadi, berarti melanjutkan perlambatan yang sudah berlangsung sejak bulan sebelumnya.
“Di saat yang bersamaan rencana-rencana manufaktur dan infrastruktur Donald Trump belum ada yang terlaksana, artinya harapan kenaikan permintaan yang sempat memuncak pasca kemenangan Trump tidak terjadi dan malah menenggelamkan harga tembaga saat ini,” papar Ibrahim.
Selain itu, setelah sempat mengalami kenaikan signifikan pasca aksi mogok kerja yang terjadi di tambang Grasberg, milik Freeport McMoran di Indonesia, harga tembaga terserang aksi profit taking oleh pelaku pasar.
“Sebab memang aksi mogok kerja tersebut sudah berhasil diatasi, maka minim gangguan geopolitik yang bisa menopang kenaikan harga jangka pendek,” tutur Ibrahim. Dutch Bank ING menduga ada sekitar 100.000 ton pasokan tembaga dari Grasberg yang siap kembali membanjiri pasar dalam waktu dekat.
“Jejeran katalis negatif ini berpotensi besar membawa harga tembaga turun lagi,” duga Ibrahim.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News