Reporter: Harry Febrian | Editor: Djumyati P.
JAKARTA. Koreksi crude palm oil (CPO) sejak awal tahun terus mengancam kinerja emiten minyak sawit mentah, termasuk PT Sampoerna Agro Tbk (SGRO). Harga CPO di Bursa Malaysia, Senin (7/5), anjlok ke level terendah delapan pekan di posisi RM 3.311 per ton.
Harga saham SGRO kemarin menurun 2,25% menjadi Rp 3.150 per saham. Ini adalah posisi harga terendah SGRO dalam tiga bulan terakhir.
Sally Agustina, analis eTrading Securities, berpendapat, tren penurunan harga jual rata-rata CPO, khususnya di kuartal pertama, merupakan satu penyebab merosotnya kinerja SGRO di tiga bulan pertama tahun ini (lihat tabel). "Harga rata-rata CPO sepanjang tahun ini lebih rendah 8% daripada tahun lalu," tulis Sally, dalam riset yang diterima KONTAN.
Meski performa di kuartal pertama tahun ini tidak memuaskan, analis AAA Securities Willy Gunawan, memprediksi kinerja keuangan SGRO di akhir tahun, masih tetap positif. "Bisa dibilang, secara historis memang umumnya performa emiten CPO jelek di awal tahun, tapi bisa ditutup oleh performa positif di akhir tahun nanti," ujar Willy.
Dia menilai semua produsen CPO belakangan ini mengalami masalah yang sama, yakni harga jual rata-rata CPO relatif rendah. " Tapi saya melihat apa yang terjadi sekarang lebih karena faktor tidak langsung, yaitu penurunan harga minyak mentah di pasar internasional," kata Willy.
Dus, dia optimistis harga jual rata-rata CPO masih akan naik tahun ini. Pasalnya, dari segi produksi, pertumbuhan CPO sulit berlari kencang karena masalah kekeringan. "Ambil contoh di Indonesia, dari sebelumnya 22 juta ton, hanya tumbuh menjadi 25 juta ton. Kenaikan itu relatif sangat rendah," tutur Willy.
Di sisi lain, masalah gagal panen minyak kedelai di Amerika Selatan tergolong cukup besar. "Dengan pertumbuhan produksi yang sedikit, maka akan menaikkan harga CPO," jelas Willy, yang memperkirakan hingga tengah tahun ini harga CPO berada di level RM 3.600 per ton.
Penanaman baru
Faktor lain yang perlu menjadi perhatian SGRO adalah penambahan lahan tertanam yang cenderung lamban. Dalam kurun 2010-2014, SGRO menargetkan penanaman baru sebanyak 50.000 hektare (ha) atau rata-rata 10.000 ha per tahun. Sejauh ini, penanaman baru SGRO seluas 6.894 ha pada 2010 lalu dan 5.280 ha selama 2011.
Adapun hingga akhir kuartal pertama tahun ini lahan tertanam bertambah 879 ha. "New planting ini berjalan sangat lambat sekali. Bahkan sampai sekarang setengahnya saja belum," ungkap Willy.
Meski demikian, Sally menimpali, jika target penanaman baru SGRO bisa terpenuhi, maka pertumbuhan kinerja keuangan perseroan akan positif. Apalagi, jika lahan SGRO nanti diolah sebagai lahan inti yang bisa menghasilkan tingkat ekstraksi yang lebih baik.
Baik Willy maupun Sally masih merekomendasikan beli saham SGRO, dengan target harga masing-masing Rp 3.900 dan Rp 3.650 per saham. Willy melihat price to earning ratio (PER) SGRO di 2012 sebesar 10,7 kali, sedangkan hitungan Sally 11,16 kali.
Analis Danareksa Sekuritas, Gabriella Maureen Natasha, juga menyarankan beli untuk SGRO dengan target harga Rp 4.200 per saham.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News