Reporter: Lydia Tesaloni | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Harga nikel masih fluktuatif pasca rencana pengurangan produksi. Namun pada bulan Maret ini, nikel mencatatkan performa terbaik sejak lima bulan terakhir dengan rekor di kisaran US$ 16.600 per ton.
Menurut Trading Economics, Kamis (27/3) pukul 20.30 WIB, harga nikel bertengger di level US$ 16.220 per ton. Angka tersebut meningkat 0,15% secara harian dan 4,09% secara bulanan.
Founder Traderindo Wahyu Laksono menyebut, pasar nikel kini dilanda tantangan sejak kelebihan pasokan yang disusul melemahnya permintaan. Menurut Wahyu, kelebihan pasokan masih akan berlanjut tahun ini dan tetap menekan harga nikel.
“Kinerja nikel yang kurang baik kemungkinan akan terus berlanjut, setidaknya dalam jangka waktu dekat,” ungkap Wahyu kepada Kontan.co.id, Selasa (25/3).
Lebih lanjut, Wahyu menjelaskan bahwa Indonesia, sebagai negara produsen nikel terbesar di dunia, sudah terlalu banyak melakukan produksi. Namun, permintaan dari sektor baterai stainless steel dan kendaraan listrik atau electric vehicle (EV), salah satu target distribusi utamanya, justru mengecewakan.
Baca Juga: Ketimbang Menaikkan Royalti Nikel, APNI Minta Pemerintah Atur Harga Kobalt
Dilansir dari Reuters, tren nikel di Indonesia telah bergeser. Awalnya, pasokan nikel Indonesia membanjiri segmen Class II (nikel kualitas rendah-menengah) di pasar nikel.
Dalam dua tahun terakhir, perusahaan China berhasil mengembangkan teknologi untuk mengolah sumber daya nikel Indonesia menjadi produk Class I (nikel berkualitas tinggi) yang biasa digunakan di industri EV. Kendati begitu, menurut Wahyu, permintaan nikel untuk EV juga tak seberapa besar.
Melubernya stok tanpa distribusi yang sepadan menekan harga nikel. Pada awal tahun ini, harga nikel mencapai rekor terendah sejak 2022 di level US$ 15.066 per ton pada 2 Januari 2025.
Sebelumnya, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM) disebut akan memangkas jumlah bijih nikel yang boleh ditambang pada 2025. Jumlah produksi nikel tahun ini disebut hanya akan sebesar 150 juta ton, menurun 44,85% dari 272 juta ton produksi tahun lalu. Dengan itu, Wahyu melihat potensi rebound setelah harga oversold.
“Apalagi didukung pengurangan supply. Jadi harga rebound makin potensial, setidaknya kenaikan 20%,” sebut Wahyu.
Hanya saja, lanjut Wahyu, kenaikan harga tersebut masih memerlukan waktu setidaknya beberapa bulan ke depan. Serta, dukungan faktor fundamental lain seperti kebijakan stimulus China, pelemahan USD, dan kenaikan tren logam dasar, akan dibutuhkan.
Wahyu menyebut strategi terbaik bagi investor saat ini adalah buy on weakness. Sebab, potensi rebound akan muncul setelah koreksi harga nikel menyentuh level support.
Hingga semester awal 2025, Wahyu memproyeksi nikel masih akan bergerak di kisaran US$ 14.000 - US$ 18.000 per ton. Sementara hingga akhir tahun, Wahyu memproyeksi fluktuasi yang lebih besar di rentang US$ 13.000 – US$ 22.000 per ton.
Baca Juga: Harga Nikel Melejit, Begini Dampaknya Bagi Emiten Produsen Nikel
Selanjutnya: Tok, Mahkamah Agung Kabulkan Kasasi OJK Atas Gugatan Pencabutan Izin Kresna Life
Menarik Dibaca: Dividen Bank Danamon (BDMN) Rp 113,85 per saham, Potensi Yield 4,6%
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News