Reporter: Wahyu Tri Rahmawati | Editor: Wahyu T.Rahmawati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Setelah mencetak penurunan terbesar sejak Perang Teluk tahun 1991, harga minyak kembali merangkak naik. Selasa (10/3) pukul 7.04 WIB, harga minyak west texas intermediate (WTI) untuk pengiriman April 2020 di New York Mercantile Exchange menguat 3,82% ke US$ 32,32 per barel.
Harga minyak ini menanjak naik setelah kemarin terjun 24,59% ke US$ 31,13 per barel. Ini adalah harga terendah minyak WTI sejak akhir Februari 2016 atau lebih dari empat tahun lalu.
Penurunan harga minyak kemarin merupakan persentase penurunan terbesar sejak 17 Januari 1991 ketika harga minyak turun lebih dari 30% di tengah Perang Teluk.
Baca Juga: Awas, IHSG bisa sentuh level di bawah 5.000 dalam jangka pendek
Harga saham perusahaan-perusahaan minyak ikut tiarap bersama dengan harga komoditas energi ini. Perusahaan-perusahaan minyak ini mulai memangkas belanja untuk mengantisipasi penurunan pendapatan.
"Di akhir pekan, setiap perusahaan menghitung ulang angka mereka dan pada dasarnya perusahaan shale oil berada dalam mode untuk bertahan hidup dari sisi belanja modal dan aktivitas," kata Dan Yergin, vice chairman IHS Markit kepada Reuters.
Harga minyak merosot setelah Arab Saudi berencana mengerek produksi minyak mentah di atas 10 juta barel per hari pada bulan April dari posisi sekarang sebesar 9,7 juta barel per hari. Negara pengekspor minyak ini pun menggunting harga jual ekspor minyak untuk mendorong perusahaan pengolah minyak membeli lebih banyak.
Sementara Rusia, salah satu produsen minyak terbesar setelah Amerika Serikat (AS), juga mengatakan akan menambah produksi. Rusia mengatakan masih bisa bertahan dengan harga minyak yang rendah untuk enam hingga 10 tahun.
Rencana kenaikan produksi minyak Saudi dan Rusia ini merupakan efek bubarnya kesepakatan OPEC+ jelang akhir pekan lalu. Pada pertemuan di Wina, OPEC dan Rusia tidak menyepakati pemangkasan produksi yang diusulkan OPEC.
Baca Juga: Anjlok 25%, ramalan untuk pasar minyak lebih mengerikan ketimbang 2014
"Prognosis pasar minyak jauh lebih mengerikan daripada pada November 2014 ketika perang harga seperti itu dimulai, karena ini memuncak dengan jatuhnya permintaan akibat virus corona," ungkap Goldman Sachs seperti dikutip Reuters.
Saat ini, Amerika Serikat (AS) menjadi produsen minyak terbesar dunia dengan level produksi 12,9 juta barel per hari. Sedangkan tingkat produksi minyak Rusia berada di sekitar 10,6 juta barel per hari.
Bank of America menurunkan prediksi harga minyak brent menjadi US$ 45 per barel pada tahun ini dari prediksi sebelumnya pada US$ 54 per barel.
Bank of America Global Research menuliskan bahwa perubahan radikal kebijakan menunjukkan bahwa Saudi akan membiarkan stok melonjak tajam dalam tiga kuartal mendatang. "Alhasil, kami memperkirakan harga minyak brent akan turun sementara hingga kisaran US$ 20 dalam beberapa pekan mendatang," ungkap Bank of America dalam laporan yang dikutip Reuters.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News