Reporter: Wahyu Tri Rahmawati | Editor: Wahyu T.Rahmawati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Harga minyak turun lagi menjelang akhir pekan. Ini adalah penurunan hari keempat setelah harga minyak menyentuh level tertinggi sejak April 2019 pada Senin (6/1) lalu.
Jumat (10/1) pukul 7.19 WIB, harga minyak west texas intermediate (WTI) untuk pengiriman Februari 2020 di New York Mercantile Exchange berada di US$ 59,53 per barel, turun tipis ketimbang harga penutupan perdagangan kemarin pada US$ 59,56 per barel.
Harga minyak mengakumulasi penurunan sebesar 5,91% dalam empat hari perdagangan terakhir.
Setelah sempat menguat di awal pekan, harga minyak berangsur menurun seiring penurunan tensi konflik Timur Tengah. Sementara itu, Energy Information Administration (EIA) melaporkan bahwa persediaan minyak mentah Amerika Serikat (AS) naik 1,2 juta barel pada akhir pekan hingga 3 Januari lalu. Padahal, analis memperkirakan penurunan stok minyak 3,6 juta barel.
Baca Juga: Yield obligasi berpotensi naik, pemerintah harus amankan pembiayaan APBN lebih awal
Pada perdagangan kemarin, harga minyak brent untuk pengiriman Maret 2020 di ICE Futures berada di US$ 65,37 per barel, turun tiga hari berturut-turut dari US$ 68,91 per barel pada awal pekan.
JPMorgan mempertahankan prediksi harga minyak brent pada US$ 64,50 per barel pada 2020. Harga minyak masih cenderung flat di tengah pemangkasan OPEC+ yang mencapai 2,1 juta barel per hari pada kuartal pertama ini.
"Seiring dengan konflik geopolitik yang mencapai titik keseimbangan baru, kondisi suplai secara keseluruhan mendukung penurunan harga minyak," kata Hary Tchilinguirian, oil strategist BNP Paribas kepada Reuters.
Baca Juga: Analis prediksi IHSG bisa tembus 6.800 hingga akhir tahun 2020
Tchilinguirian menambahkan bahwa produksi minyak AS masih mencapai rekor 12,9 juta barel per hari. Dia mengatakan bahwa belum tentu OPEC+ akan menerapkan penuh rencana pemangkasan produksi hingga Maret nanti.
Gene McGillian, director of market research Tradition Energy mengatakan bahwa ketika kenaikan harga yang terjadi ketika tensi geopolitik naik dan langsung turun lagi menunjukkan bahwa fundamental pasar tidak begitu kuat. "Banyak partisipan pasar merasa bahwa ada banyak suplai minyak yang tidak terserap konsumsi," kata dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News