Reporter: Yusuf Imam Santoso | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pergerakan harga minyak pada pekan ini semakin lesu. Pekan lalu harga minyak berada di level tertinggi sebesar US$ 66,30 per barel (23/4). Namun pekan ini harga minyak berbalik turun, melihat sikap Amerika Serikat (AS) yang mulai menggelontorkan sentimen guna melemahkan harga minyak.
Jumat (3/5) pukul 18.40 WIB, harga minyak west texas intermediate (WTI) untuk pengiriman Juni 2019 di New York Mercantile Exchange berada di US$ 61,88 per barel, naik 0,10%. Namun harga komoditas energi ini terkoreksi 2,24% dibanding saat tutup pasar akhir pekan lalu di level US$ 63,30 per barel.
Analis Global Kapital Investama Berjangka Alwi Assegaf menilai memasuki kuartal-II harga minyak wajar mulai mengalami koreksi, bahkan ia memprediksi pada periode tersebut harga komoditas energi ini mungkin berada di kisaran US$ 54-US$ 58 per barel. Sebab, harga minyak pada kuartal-I sudah naik 32,4%.
Alasannya, pada kuartal II-2019 sanksi AS terhadap Iran akan dijalankan, tepatnya pada awal bulan ini. Di mana AS melarang seluruh negara importir minyak untuk melakukan perdagangan terhadap Iran.
Sebetulnya saksi ini sudah berlaku di tahun lalu, tapi kala itu AS masih memberikan toleransi kepada delapan negara importir minyak untuk masih bisa berhubungan dagang dengan Iran.
AS mengimbau kepada Arab Saudi agar menggenjot produksi minyaknya sebagai pengalihan sumber para importir minyak.
Namun, Organization of the Petroleum Exporting Countries (OPEC) dan non-OPEC sepertinya sudah mendeteksi politisasi saksi AS terhadap Iran dan Venezuela yang sudah lebih dulu. Sejak awal tahun lalu, organisasi tersebut melakukan stimulus kebijakan dengan memangkas produksi dengan target 1,2 juta barel per hari hingga saat ini.
Akan tetapi kabarnya bulan lalu Rusia belum bisa memberikan sumbangsih program pemangkasan minyak dengan baik. Namun, Alwi memandang ke depannya Rusia sepertinya akan berjalan dengan efektif.
“Rusia gagal karena laporan EIA setidaknya April sampai dengan Juni masih bisa membaik, terlebih Rusia jauh dari tekanan sanksi AS,” kata Alwi, Jumat (3/5).
Tak diam begitu saja, Iran mengancam balik AS jika sanksi tetap dibebankan maka Iran akan menutup selat Hormus yang akan menghadang laju ekspor minyak di beberapa negara tetangga Iran yang juga menjadi negara eksportir minyak, termasuk Arab Saudi. “Dampaknya pasokan minyak global jadi terganggu,” imbau Alwi.
Kemarin, Energy Information Administration (EIA) melaporkan bahwa produksi minyak mentah AS mencapai rekor 12,3 juta barel per hari pada pekan lalu, naik sekitar 2 juta barel per hari dari setahun yang lalu.
Ini merupakan pertumbuhan tertinggi sejak 2017. Kata Alwi inilah alasan utama yang membuat harga minyak pekan ini terkoreksi.
Di sisi lain cadangan minyak sepertinya akan bertambah di benua Afrika. Sekretaris Perminyakan Kenya, Martin Heya kabarnya akan menawarkan 36 blok ekplorasi minyak mentah. Negara Afrika Timur itu sedang mencari perusahaan untuk melakukan survei seismik. Ditargetkan pada tahun 2021 studi kelayakan sudah rambung sehingga produksi minyak di Kenya bisa bertambah. Sebelumnya, Kenya memiliki 63 blok minyak, 27 di antaranya sudah dilisensikan.
Kata Alwi, ke depan sentimen harga minyak masih tarik-ulur, AS akan terus berusaha agar harga minyak turun, sementara OPEC dan non-OPEC tetap menjaga harga minyak. Untuk perdagangan pekan depan Alwi memprediksi harga minyak kemungkinan masih akan melemah dan akan diperdagangkan di rentang US$ 58,86-US$ 64,76 per barel.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News