Sumber: Reuters | Editor: Hasbi Maulana
KONTAN.CO.ID - SINGAPURA. Harga minyak naik pada Selasa (3/7) setelah Libya mengumumkan force majeure pada sejumlah besar pasokannya.
Harga minyak mentah Brent berjangka berada di US$ 78,06 per barel pada 01.12 GMT (sekitar 08.12 WIB), naik 76 sen atau 1% dari penutupan terakhir mereka. Adapun minyak mentah berjangka West Texas Intermediate (WTI) naik 75 sen atau 1% pada US$ 74,69 per barel
Pedagang mengatakan bahwa gangguan pasokan Libya mendorong harga karena melebihi kenaikan pasokan bulan Juni dari Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC). Output Juni OPEC adalah 32,32 juta barel per hari (bph). Hasil survei Reuters pada hari Senin itu menunjukkan kenaikan 320.000 bph dari Mei. Total produksi Juni ini tertinggi sejak Januari 2018.
Perusahaan Minyak Nasional Libya (NOC) mengumumkan force majeure pada pemuatan dari pelabuhan Zueitina dan Hariga pada hari Senin. Total penurunan produksi mencapai 850.000 bph akibat penutupan ladang dan pelabuhan timur.
Secara keseluruhan, bagaimanapun, analis mengatakan kebijakan produksi OPEC serta gangguan pasokan yang tidak direncanakan saat ini merupakan pendorong utama kenaikan harga minyak.
"Dalam jangka pendek, tingkat produksi OPEC -penyebaran kapasitas cadangan oleh Arab Saudi, Irak, UAE, Kuwait (dan mantan OPEC oleh Rusia), serta gangguan-gangguan non-sukarela di Libya, Venezuela, Iran- merupakan pendorong yang lebih penting dari harga minyak mentah," kata Goldman Sachs dalam sebuah catatan yang diterbitkan Senin malam.
Permintaan menurun
Apa yang menjadi perhatian, setidaknya bagi produsen, adalah perlambatan permintaan.
"Pertumbuhan permintaan minyak AS melambat secara signifikan menjadi 385.000 bph tahun ke tahun di bulan April, dibandingkan dengan pertumbuhan lebih dari 730.000 bph tahun-ke-tahun di kuartal 1," kata bank Braclays, menambahkan bahwa penyebabnya sebagian besar adalah harga bahan bakar yang lebih tinggi .
Di Asia, wilayah konsumsi minyak terbesar dunia, impor minyak lewat laut telah jatuh sejak Mei. Biaya yang lebih tinggi memadamkan kehausan konsumen akan minyak dan perselisihan perdagangan yang meningkat antara Amerika Serikat dan Cina mulai berdampak pada ekonomi.
"Ada tanda-tanda bahwa pertumbuhan di China telah melambat dalam beberapa bulan terakhir, khususnya belanja infrastruktur oleh pemerintah lokal. Saya akan berasumsi bahwa investasi infrastruktur cukup intensif energi, jadi mungkin itu memiliki efek knock-on terhadap permintaan minyak," kata Frederic Neumann, Co-Head Riset Ekonomi Asia di HSBC di Hong Kong.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News