Reporter: Irene Sugiharti | Editor: Wahyu T.Rahmawati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Harga minyak terus merangkak naik. Pekan ini, harga minyak mencapai level tertinggi dalam tiga bulan terakhir. Mengutip data Bloomberg, minyak WTI untuk kontrak Januari 2020 di New York Mercantile Exchange berada di harga US$ 60,07 per barel pada Jumat (13/12). Ini adalah posisi tertinggi sejak 17 September 2019.
Direktur PT Garuda Berjangka Ibrahim mengatakan, sejumlah sentimen positif mengangkat harga minyak di bulan terakhir tahun ini. Kesepakatan dagang fase satu antara Amerika Serikat (AS) dan China menjadi salah satu penopang harga minyak. Selain itu, Brexit yang diramal segera rampung, outlook ekonomi AS yang dirilis Federal Reserve, serta kesepakatan pemangkasan produksi OPEC+.
Dari beragam sentimen di atas, Ibrahim menyebut sentimen perang dagang dan Brexit masih menjadi dua sentimen utama pergerakan harga minyak. "AS menunda bea impor. Kalau menunda bea impor kemungkinan besar fase pertama akan deal," tutur Ibrahm, Minggu (15/12).
Baca Juga: Ekonom Bank Permata prediksi neraca dagang November 2019 surplus, ini pertimbangannya
Ibrahim menyebut, jika kesepakatan fase satu diteken, China berpeluang kembali mengimpor minyak mentah besar-besaran. Di sisi lain, permasalahan Brexit berpotensi makin lancar setelah pemilihan umum Inggris menunjukkan kemenangan Boris Johnson.
Bank Sentral AS juga turut memberikan sentimen yang mempengaruhi pergerakan harga minyak. Dalam rapat FOMC terakhir, The Fed memberikan informasi terkait cerahnya perekonomian AS. Ibrahim mengatakan, hal ini mengindikasikan bahwa tidak akan terjadi resesi seperti yang dikhawatirkan banyak pihak.
Kesepakatan pemangkasan produksi OPEC+ pekan lalu pun masih menjadi salah satu penyebab kenaikan harga minyak. Sekadar mengingatkan, OPEC+ menyepakati penambahan pemangkasan produksi sebesar 500.000 barel per hari yang akan berakhir hingga Maret 2020. Dengan tambahan ini, maka pemangkasan OPEC+ menjadi 1,7 juta barel per hari hingga akhir kuartal pertama 2020.
Baca Juga: Simak point kesepakatan dagang AS-China fase satu, termasuk soal devaluasi yuan
Ibrahim menilai pergerakan harga minyak tahun depan masih akan menanti kepastian kesepakatan dagang AS-China. Kedua negara berencana meneken kesepakatan dagang ini pada bulan depan.
Namun, Ibrahim mengatakan bahwa harga minyak pada bulan Januari dan Februari 2020 memang berpeluang menguat didorong sentimen musim dingin. Tapi, harga akan kembali menyusut pada akhir kuartal pertama hingga kuartal ketiga 2020. "Kalau seandainya, pilpres AS dimenangkan Donald Trump bisa saja harga minyak akan kembali jatuh. Tetapi kalau dimenangkan lawannya, kemungkinan harga minyak akan kembali stabil. Namun perlu diingat AS pasti melakukan intervensi," ungkap Ibrahim.
Baca Juga: Harga minyak dunia naik ke level tertinggi tiga bulan
Intervensi yang dimaksud Ibrahim disini ialah terkait produksi minyak AS yang meningkat di saat negara-negara OPEC mengurangi produksi. Ibrahim mengatakan, hal ini dapat menjadi pertanda bahwa Amerika tidak menginginkan kenaikan lanjutan atas harga minyak dunia.
Ibrahim memprediksikan harga minyak mentah akan berada di kisaran US$ 57 per barel pada tahun depan. Di akhir tahun ini, harga minyak diperkirakan berada di US$ 54 per barel hingga US$ 60 per barel.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News