Reporter: Hikma Dirgantara | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Demi mengatasi tingginya laju inflasi Amerika Serikat (AS), The Fed memutuskan untuk menaikkan suku bunga acuan sebesar 75 bps. Namun, langkah bank sentral AS ini dinilai para pelaku pasar justru akan membuat ekonomi AS jatuh ke dalam jurang resesi.
Jika ditelusuri, sumber permasalahan inflasi AS sebenarnya datang dari tingginya harga komoditas energi, khususnya minyak dunia. Bahkan di AS, harga bahan bakar sempat mencapai US$ 5 per galon imbas tingginya harga minyak dunia.
Perang Rusia-Ukraina yang mengacaukan pasokan komoditas energi menjadi biang keladi dari seluruh permasalahan ini.
Founder Traderindo.com Wahyu Laksono mengungkapkan, The Fed memang tidak punya opsi yang lebih baik untuk menghadapi tingginya harga komoditas energi yang telah memicu inflasi.
Baca Juga: Resesi AS di Depan Mata, Kenaikan Suku Bunga The Fed Diramal Berlanjut hingga 2023
Menurutnya, menaikkan suku bunga dan bersiap menghadapi resesi ekonomi adalah langkah yang diharapkan bisa menekan harga komoditas energi ke depan.
Pasalnya, inflasi saat ini memang sulit untuk diredam secara signifikan mengingat penyebab utamanya adalah masih terjadinya perang antara Rusia - Ukraina.
“Jadi, karena harga komoditas sulit dikendalikan, maka masyarakatnya dipaksa untuk meredam demand,” kata Wahyu kepada Kontan.co.id, Selasa (21/6).
Dengan demikian, ia melihat permintaan akan komoditas energi akan berkurang ketika terjadinya resesi. Hal ini diharapkan pada akhirnya akan membuat harga komoditas energi ikut turun.
Jika melihat kondisi pasar belakangan ini, semenjak The Fed menaikkan suku bunga, harga komoditas energi cenderung turun. Misalnya, harga minyak West Texas Intermediate (WTI) yang sempat menyentuh US$ 120 per barrel, kini berada di level US$ 110 per barel. Sementara harga gas alam juga berada dalam tren penurunan, dari US$ 9,66 per mmbtu menjadi US$ 6,7 per mmbtu.
Hanya saja, menurut Wahyu turunnya harga komoditas di tengah ancaman resesi bisa jadi hanya bersifat sementara. Pasalnya, ketika terjadi resesi, The Fed pada akhirnya akan kembali memangkas suku bunga acuan atau memberikan stimulus demi menyelamatkan ekonomi AS.
Hal tersebut pernah terjadi di 1994 silam. Kala itu, setelah menaikkan suku bunga sebesar 75 bps, tujuh bulan kemudian The Fed kembali memangkas suku bunga.
“Jika narasinya kembali bergeser lagi, dari resesi menjadi pelonggaran dan stimulus, maka harga komoditas energi akan kembali naik seiring cash yang membanjiri pasar lagi,” imbuh Wahyu.
Ditambah lagi, secara fundamental, harga komoditas energi sendiri saat ini sulit untuk bisa turun dalam waktu yang berkepanjangan.
Baca Juga: Duh, Ekonomi AS Bisa Jatuh ke Dalam Resesi Akhir Tahun Ini
Wahyu menyebut, selama perang Rusia - Ukraina berlanjut, maka akan terjadi disrupsi pada pasokan komoditas energi. Alhasil, harga masih akan sulit untuk bisa terus terkoreksi.
Wahyu mencontohkan, imbas perang tersebut, negara Eropa seperti Jerman, Belanda, Austria kini kembali membuka opsi menjadikan batubara sebagai sumber pembangkit listrik. Hal ini imbas dari tingginya harga gas alam yang pasokannya sangat bergantung pada Rusia.
Pada akhirnya, harga batubara sejauh ini masih sulit bergerak turun dan stabil diperdagangkan di rentang US$ 300 - US$ 400 per ton. Hal yang sama dinilai sangat mungkin terjadi di komoditas energi lainnya, yang membuat peluang naiknya harga komoditas energi secara jangka panjang masih terbuka lebar.
“Oleh karena itu, ketika harganya nanti turun karena kekhawatiran resesi, hal tersebut bisa jadi peluang terbaik untuk melakukan strategi buy on weakness,” tutup Wahyu.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News