Reporter: Sugeng Adji Soenarso | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Harga energi diprediksi akan berkonsolidasi sepanjang tahun 2024. Sebab, secara fundamental global belum meyakinkan.
Founder Traderindo.com Wahyu Tribowo Laksono mengatakan China mengalami perlambatan ekonomi sehingga menekan permintaan. Selain itu, Amerika Serikat (AS) terancam pelemahan ekonomi yang tercermin dari inflasi dan pasar tenaga kerja melemah.
Meski begitu, terdapat sejumlah sentimen yang dapat mendorong harga komoditas energi.
Baca Juga: Harga Komoditas Diprediksi Bergerak Stabil, Berikut Sentimen Penahannya
"Harga minyak berpotensi naik jika OPEC+ melakukan kebijakan cut production," ujarnya kepada Kontan.co.id, Senin (2/9).
Menurutnya, Arab Saudi dan negara-negara penghasil minyak yang tergabung dalam OPEC+ pada Juni lalu memperpanjang pemangkasan produksi hingga tahun depan.
Sebuah langkah yang ditujukan untuk mendukung harga yang masih lesu, bahkan di tengah gejolak Timur Tengah dan dimulainya musim musim panas, yang umumnya memicu kenaikan harga.
Saudi membutuhkan harga minyak yang lebih tinggi untuk mendanai rencana ambisius Putra Mahkota Mohammed bin Salman untuk memvariasikan ekonomi negara jauh dari ekspor bahan bakar fosil.
Harga minyak yang lebih tinggi juga akan membantu Rusia menjaga pertumbuhan ekonomi dan stabilitas karena menghabiskan banyak uang untuk perang melawan Ukraina.
Untuk batubara, Wahyu menilai tren harganya lebih baik lantaran didukung permintaan yang lebih kuat dari beberapa negara Asia, termasuk Thailand, Filipina, dan Vietnam, yang mengalami rekor gelombang panas yang mendorong konsumsi energi meningkat.
Baca Juga: Harga Komoditas Energi Beragam di Agustus 2024, Ini Penyebabnya
"Peningkatan permintaan juga datang dari Jepang," katanya.
Namun, harga batubara berpotensi melemah di 2025 karena pembangkit listrik terbarukan memenuhi permintaan listrik yang meningkat.
"Risiko utama untuk pandangan ini termasuk pertumbuhan yang lebih kuat dari yang diharapkan dalam output daya China dan kekurangan tenaga air," sambungnya.
Sedangkan harga gas alam cenderung tertekan seiring dengan kelebihan pasokan. Meski begitu, harganya berpotensi rebound seiring optimisme produsen tentang prospek jangka panjang gas sebagai bahan bakar, baik di AS maupun di luar negeri.
Wahyu juga berpandangan, kelebihan pasokan gas alam AS saat ini akan mereda dalam beberapa bulan mendatang karena banyak operator yang membatasi produksi sebagai tanggapan atas kemerosotan harganya.
"Secara umum, akhir tahun semuanya masih berpotensi untuk naik," katanya.
Wahyu memperkirakan harga minyak akan berada di rentang US$ 74 per - US$ 84 per barel. Lalu batubara di kisaran US$ 150 per ton, dan gas alam di rentang US$ 1,8 - US$ 2,5 per MMBtu.
Gap yang cukup lebar untuk gas alam menilik volatilitas harga gas alam yang tinggi. Sehingga, harganya dapat berubah secara ekstrem.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News