Reporter: Akmalal Hamdhi | Editor: Putri Werdiningsih
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Emiten batubara dibayangi pelemahan harga batubara akibat China terus menggenjot produksi dalam negeri. Regulasi baru di industri ini seperti tarif royalti dan Harga Batubara Acuan (HBA) turut akan berdampak pada prospek kinerja perusahaan batubara.
Analis BRI Danareksa Sekuritas Erindra Krisnawan mengamati, tingkat persediaan yang tinggi di China saat meningkatnya produksi domestik sebagai penyebab utama rendahnya harga batubara di 2024. Skenario normalisasi harga batubara diperkirakan berlanjut di 2025 dengan harga batubara Newcastle rata-rata diproyeksi pada US$110 per ton daripada US$135,7 per ton di 2024.
Risiko penurunan harga batubara tahun ini akibat produksi batubara China yang terus meningkat dan risiko pasokan Rusia kembali membayangi pasar. Tingkat persediaan China yang tinggi ini dapat membatasi harga batubara, disaat permintaan impor menguat.
Dari sisi pasokan, lanjut Erindra, Indonesia tetap menjadi pemasok utama ke pasar seaborne batubara bersama Australia yang juga menunjukkan pemulihan produksi. Produksi Indonesia akan terus tumbuh pada tingkat yang sama sebesar 8,1% yoy di 2025, sementara profil produksi mungkin datar untuk negara-negara pengekspor lainnya.
Baca Juga: Pemerintah Berencana Revisi Tarif PNBP Batubara Hingga Nikel, Ini Penyebabnya
Di tengah proyeksi penurunan harga batubara, BRI Danareksa Sekuritas memandang bahwa sentimen ini dapat berefek pada laba penambang batubara Indonesia. Diperkirakan labanya akan turun sebesar 25%-33% di 2025. Kemudian dari sisi biaya, biaya bahan bakar emiten batubara kemungkinan sedikit naik akibat penerapan kebijakan B40.
‘’Kami menurunkan peringkat sektor batubara menjadi netral, di tengah pandangan kami tentang risiko penurunan harga dari produksi China yang lebih tinggi dan tingkat persediaan yang tinggi,’’ ungkap Erindra dalam riset 13 Maret 2025.
Analis Indo Premier Sekuritas Reggie Parengkuan memaparkan, implementasi B40 akan berdampak negatif pada laba bersih emiten batubara tahun ini. Seperti diketahui, mulai 1 Januari 2025, pelaku industri diwajibkan untuk beralih ke B40 dari B35 sebelumnya.
Berdasarkan pemeriksaan, harga B40 diperkirakan 17% lebih tinggi dibandingkan dengan B35 per Januari 2025. Dengan asumsi bahwa bahan bakar menyumbang 20%-30% dari total biaya tunai penambang. Biaya tunai keseluruhan diperkirakan akan meningkat sebesar 3%-5% dari implementasi B40, yang akan berdampak negatif pada laba.
Secara keseluruhan, Reggie menyebutkan, risiko penurunan utama sektor ini adalah harga batubara yang lebih rendah dari yang diharapkan karena permintaan China dan India yang lebih lemah.
‘’Kami mempertahankan peringkat netral sektor kami untuk saat ini karena kami melihat katalis terbatas untuk reli berkelanjutan dalam harga batu bara termal,’’ tulis Reggie dalam riset 26 Februari 2025.
Analis Mirae Asset Sekuritas Rizkia Darmawan memproyeksi, harga batubara saat ini masih menghadapi tekanan akibat limpahan pasokan terutama dari China dan India yang terus memperbesar produksi dalam negerinya.
Permintaan batubara China diperkirakan melemah karena utilitas tetap memiliki persediaan yang cukup dan kondisi musim dingin yang lebih hangat membatasi konsumsi. Tak hanya itu, permintaan batu bara Jepang akan menurun karena utilitas beralih ke energi nuklir, sementara transisi Korea dan Taiwan ke tenaga air membuat permintaan tetap stabil tetapi stagnan.
Di lain sisi, permintaan dari India, Pakistan, Bangladesh, dan Vietnam diperkirakan tetap kuat didorong oleh kekhawatiran keamanan energi dan meningkatnya aktivitas industri di Asia Tenggara. Namun, dengan pasokan yang melampaui permintaan, harga batubara termal mungkin menghadapi tekanan ke bawah pada tahun 2025.
Baca Juga: Cermati Rekomendasi Saham Emiten Sektor Energi dan Batubara yang Sudah Siapkan Capex
Pasar seabore batubara kemungkinan juga masih bergejolak dengan kendala pasokan dari Australia, Kolombia, dan Afrika Selatan akibat masalah logistik dan tenaga kerja. Sentimen ini pada akhirnya dapat menjadi katalis positif bagi harga batubara.
Rizkia menuturkan, batubara Indonesia sendiri memiliki keunggulan dibandingkan dengan produsen lainnya karena karakteristiknya yang lebih ramah lingkungan (greener coal). Indonesia juga merupakan salah satu eksportir batubara terbesar dunia.
‘’Pasokan dari Indonesia tidak mudah tergantikan, yang menjadi faktor pendukung lainnya bagi permintaan batubara dalam jangka panjang,’’ kata Rizkia saat dihubungi Kontan.co.id, Jumat (14/3).
Dampak tarif royalti dan harga batubara acuan (HBA)
Hanya saja, Rizkia mengantisipasi, adanya dampak perubahan tarif royalti batubara bagi kinerja emiten sektor batubara. Berdasarkan catatan Kontan, rencana kenaikan tarif royalti mineral dan batubara saat ini tinggal menunggu pengesahan peraturan pemerintah (PP).
Dia menjelaskan, perubahan skema royalti cenderung menguntungkan pemegang IUPK hasil konversi dari PKP2B, karena skema baru memiliki lebih banyak tingkatan tarif royalti. Misalnya saat HBA berada di US$ 70 per ton - US$80 per ton, skema lama memiliki royalti 17%-21%, sementara di skema baru hanya 18%.
Sebelumnya, saat HBA di atas US$ 100 per ton, royalti mencapai 28%, sedangkan di skema baru tarif 28% hanya berlaku jika HBA lebih dari US$ 180 per ton. Dengan demikian, beberapa emiten dengan struktur biaya yang lebih efisien dapat memperoleh margin yang lebih baik.
Selain itu, penetapan Harga Batubara Acuan (HBA) yang diterapkan dengan benar dapat menguntungkan para produsen dengan mendorong harga jual yang lebih tinggi. Namun, ada risiko pembeli dapat menolak atau meminta revisi, terutama jika harga HBA lebih mahal dibandingkan dengan referensi harga pasar saat ini.
‘’Formula HBA yang lebih banyak menggunakan data historis juga berpotensi menjadi "boomerang" bagi produsen jika tren harga batubara naik, karena harga jual bisa menjadi lebih rendah dibandingkan harga pasar aktual,’’ imbuh Rizkia.
Baca Juga: Menakar Efek Rencana Penyesuaian Tarif Royalti Minerba Terhadap Emiten Batubara
Rizkia menyebutkan, ketidakpastian atas terpilihnya kembali Trump dan dampaknya terhadap kebijakan bahan bakar fosil tetap menjadi kartu liar bagi pasar batu bara. Selain itu, produksi batubara China yang sekarang mencapai 3,8 miliar ton dapat menimbulkan risiko penurunan lebih lanjut bagi harga batubara global.
Kendati demikian, Erindra menyoroti bahwa saham-saham batubara masih terus menawarkan yield dividen yang menarik bagi investor yaitu berkisara 8%-14%. Aliran dividen stabil akan menahan normalisasi harga batubara.
Dalam emiten batubara cakupan BRI Danareksa Sekuritas meliputi AADI, ADRO, ITMG, PTBA, UNTR, saham AADI diperkirakan paling menarik karena dapat menikmati kenaikan laba, jika royaltinya dipotong. Potensi kenaikan AADI sebesar 24%-27% dalam EPS, jika tarif royalti diturunkan sebesar 8-9ppt, namun masih menunggu proposal.
Erindra menambahkan, UNTR juga layak dipantau karena menawarkan profil laba yang lebih defensif dari bisnis kontraktor penambangan, dengan yield dividen yang menarik sebesar 10,8%. Secara keseluruhan, saham UNTR, AADI, ADRO, ITMG, PTBA disarankan Buy dengan target harga masing-masing Rp 31.000, Rp 9.850, Rp 2.630, Rp 27.300 per saham.
Rizkia juga melihat potensi upside pada saham AADI. Proyeksi ini mengingat efisiensi biaya dengan royalti yang lebih rendah dibandingkan skema lama, permintaan impor yang tetap kuat, terutama dari India dan negara berkembang lainnya, serta posisi strategis AADI sebagai salah satu eksportir utama, yang membuat pasokannya tidak mudah tergantikan.
Reggie merekomendasikan Buy untuk AADI dan UNTR dengan target harga masing-masing Rp 12.000 dan Rp 33.000 per saham. Sedangkan, PTBA dan ITMG disarankan Hold dengan target harga masing-masing Rp 22.000 dan Rp 2.900 per saham.
Selanjutnya: Lindungi Industri Tekstil Nasional, API Harap Revisi Permendag 8/2024 Segera Terbit
Menarik Dibaca: Ciplaz Perkuat Dukungan UMKM dengan Foodcourt Tuang Riung dan Langit Rasa
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News