Reporter: Wahyu Satriani | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Manajer investasi memiliki berbagai strategi untuk menekan kerugian akibat fluktuasi pasar modal. Lihat saja, PT First State Investments Indonesia yang menempatkan porsi kas cukup tinggi dalam reksadana saham kelolaannya: First State Dividend Yield Fund.
Head of Equity First State Investments Indonesia Hazrina Dewi mengatakan, strategi itu diterapkan sejak Juli hingga September 2014. Pasalnya, saat itu Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mulai turun di kisaran 5.100, dan berpeluang fluktuasi.
Sementara, tingginya tren suku bunga deposito diharapkan bisa mengerek return reksadana saham ini. Menurut Hazrina, perusahaan menempatkan porsi kas dalam deposit dengan return gross sebesar 10%. "Sehingga saat pasar koreksi, kami bisa outperform dibandingkan market," ujarnya.
Namun, sejak Oktober lalu First State mengubah strategi seiring optimisme terhadap performa pasar modal. Porsi kas dikurangi, porsi efek saham ditambah. Menilik fund factsheet Oktober 2014, reksadana ini menempatkan 6,75% aset dasar di pasar uang, sedangkan 93,25% dalam efek saham.
Sejatinya, First State Dividend Yield Fund memiliki kebijakan investasi leluasa memutar 80%-98% dalam saham, lalu maksimal 18% pendapatan tetap, dan 2%-20% di pasar uang.
Kata Hazrina, reksadana yang diluncurkan Agustus 2005 ini menerapkan posisi overweight pada saham-saham terkait infrastruktur dan sektor defensif. Sementara, strategi underweight pada saham sektor pertambangan, dan slight underweight di saham sektor konsumer.
Berdasarkan sektor, beberapa sektor saham yang menjadi aset dasar produk, antara lain, sektor consumer goods sekitar 18,16%, sektor finansial sekitar 17,52%, dan sektor industri 10,73%. Adapun, sejumlah saham yang menjadi aset dasar antara lain TLKM, BBCA, BMRI, UNVR, dan ASII.
Dengan mengusung strategi tersebut, First State Dividend Yield Fund mampu mencetak imbal hasil tinggi. Secara year to date hingga 2 Desember 2014, produk ini menorehkan return 31,91%. Performa tersebut lebih tinggi dibanding Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang naik 21,09% pada periode yang sama.
Menurut Hazrina, pasar reksadana pada tahun depan masih akan menghadapi tantangan gejolak pasar modal secara jangka pendek. Dampak kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) diperkirakan masih akan meningkatkan risiko inflasi.
Kendati demikian, ia yakin, di jangka panjang kenaikan harga BBM akan berdampak positif. "Kenaikan harga BBM akan membantu fiskal Indonesia. Jika pembangunan infrastruktur dapat berjalan, pertumbuhan ekonomi kita akan kembali membaik," papar Hazrina.
Hingga akhir Oktober, dana kelolaan First State Dividend Yield Fund mencapai Rp 553 miliar. Per 2 Desember 2014, nilai aktiva bersih (NAB) per unit penyertaan sebesar Rp 4.306,12. Investor harus merogoh kocek minimal Rp 1 juta untuk pembelian awal dan pembelian selanjut.
Investor akan dikutip biaya pembelian (subscription fee) maksimal 2%, dan biaya penjualan (redemption fee) maksimal 2%. Biaya annual management maksimal 3%.
Analis Asosiasi Analis Efek Indonesia (AAEI) Hans Kwee memperkirakan, kinerja reksadana ini berpotensi mengalahkan kinerja IHSG di akhir tahun. Menurutnya, saham-saham yang menjadi aset dasar, seperti BMRI, BBCA, dan TLKM memiliki kinerja yang serupa dengan IHSG. Selain itu, saham UNVR diperkirakan masih memiliki prospek menarik hingga akhir tahun ini.
Sementara saham ASII diperkirakan melambat seiring penurunan angka penjualan mobil akibat kenaikan harga BBM dan tren suku bunga tinggi. "Portofolio ini mirip IHSG, bahkan bisa di atas IHSG meski tidak terlalu tinggi," kata Hans.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News