kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.533.000   0   0,00%
  • USD/IDR 16.199   95,00   0,58%
  • IDX 6.984   6,63   0,09%
  • KOMPAS100 1.040   -1,32   -0,13%
  • LQ45 817   -1,41   -0,17%
  • ISSI 212   -0,19   -0,09%
  • IDX30 416   -1,10   -0,26%
  • IDXHIDIV20 502   -1,67   -0,33%
  • IDX80 119   -0,13   -0,11%
  • IDXV30 124   -0,51   -0,41%
  • IDXQ30 139   -0,27   -0,19%

Era Suku Bunga Tinggi Belum Usai, Simak Instrumen Investasi yang Tepat Tahun Depan


Senin, 19 Desember 2022 / 20:23 WIB
Era Suku Bunga Tinggi Belum Usai, Simak Instrumen Investasi yang Tepat Tahun Depan
ILUSTRASI. Belum usainya era suku bunga tinggi bakal mempengaruhi racikan portofolio investasi.


Reporter: Akmalal Hamdhi | Editor: Wahyu T.Rahmawati

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Belum usainya era suku bunga tinggi bakal mempengaruhi racikan portofolio investasi. Sebaiknya investor mencermati kembali instrumen investasi yang tepat di tahun depan.

Pasalnya, The Fed diperkirakan masih akan melanjutkan sikap hawkish setidaknya sampai semester pertama 2023. Aksi bank sentral Amerika Serikat (AS) tersebut juga bakal menimbulkan reaksi Bank Indonesia (BI) yang ikut mengerek suku bunga.

Research Analyst PT Infovesta Kapital Advisori Arjun Ajwani mengatakan bahwa sebelum berinvestasi perlu ditentukan terlebih dahulu tujuan utama investasi.

Jika melihat dari sisi risiko, investor yang menghindari risiko dan lebih mengutamakan keamanan maka instrumen yang menarik adalah reksadana pasar uang (RDPU). Lewat instrumen ini investor karena akan mendapat manfaat positif dari kenaikan suku bunga yakni salah satunya kenaikan suku bunga deposito. Potensi return dalam setahun diperkirakan bisa berkisar 4%-6% untuk reksadana pasar uang.

Baca Juga: Investor Pasar Modal Capai 10,08 Juta, Wilayah Indonesia Timur Jadi Jawara

Sementara bagi investor yang menyukai risiko dengan harapan mendapatkan pertumbuhan optimal, efek suku bunga tinggi bisa dimanfaatkan masuk ke instrumen saham. Khususnya saham yang diuntungkan atas kenaikan suku bunga yakni saham sektor perbankan. 

Hal ini dinilai Arjun karena perusahaan perbankan terutama perusahaan big cap atau berkapitalisasi pasar besar yang mapan bisa mengambil manfaatnya dari kenaikan margin bunga bersih atau net interest margin (NIM). Hal itu telah dibuktikan oleh kinerja perusahaan seperti BMRI, BBCA, BBNI, dan BBRI sejak awal tahun ini.

"Potensi imbal hasil atau return dari setiap saham tersebut bergantung terhadap faktor lain juga selain kenaikan suku bunga. Namun secara umum akan mendapatkan return yang lebih tinggi jika dibandingkan reksadana pasar uang," kata Arjun saat dihubungi Kontan.co.id, Senin (19/12).

Baca Juga: Tujuh Emiten Bersiap IPO, Begini Prospeknya Menurut Analis

Menurut Arjun, pasar saham masih menjadi instrumen yang paling prospektif imbal hasilnya di tahun depan. Terlebih, jika skenarionya The Fed dan sejumlah bank sentral menghentikan kenaikan suku bunga maka bakal ada pergerakan lebih kondusif.

Dia memproyeksikan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) bisa mencapai level 7.800 di akhir tahun 2023. Sedangkan di akhir tahun ini, IHSG diprediksi ditutup pada area 7150. Artinya, IHSG diperkirakan bertumbuh sekitar 9,09% di tahun depan.

Adapun saran bagi tipe investor yang menghindari risiko bisa mengalokasikan dana sebesar 70%-80% di RDPU. Sementara untuk tipe investor agresif penyuka risiko bisa menempatkan alokasi dana 70%-80% di saham dengan diversifikasi ke beberapa saham bank berkapitalisasi besar.

Kendati demikian, investor disarankan juga tetap memiliki alokasi dana dalam bentuk tunai (cash) sebagai langkah mitigasi risiko di tengah ketidakpastian situasi pasar. Serta, mencermati sentimen di pasar sehingga bisa memiliki waktu yang tepat untuk buy, hold, atau sell.

Baca Juga: Pasar Kripto Memasuki Momentum Seleksi Alam pada Tahun 2023

Arjun melanjutkan, berinvestasi pada pasar obligasi juga tak kalah menarik. Asalkan investor bisa menerapkan strategi yang tepat seperti hold to maturity (HTM) atau trading

Jika memilih strategi HTM, maka disarankan untuk masuk ke obligasi tenor panjang yang memberikan kupon tinggi dan dengan harga diskon atau sedang berada di bawah level 100. Dan juga bisa memilih obligasi negara yang bebas risiko ataupun obligasi korporasi yang punya rating investasi (investment grade).

Sedangkan, jika kebutuhannya adalah trading obligasi maka sebaiknya membeli obligasi negara tenor pendek atau seri-seri benchmark. Sebab, hal itu dinilai lebih likuid, sehingga investor bisa meminimalisir risiko dengan cepat seperti mengambil posisi jual jika ada volatilitas di pasar atau posisi beli jika sentimen akan bullish.

Baca Juga: Binance Resmi Akuisisi Tokocrypto, Ini Pertimbangannya

Arjun lebih merekomendasikan untuk berinvestasi pada pasar saham di tahun 2023. Hal itu menilai tindakan hawkish The Fed nampaknya masih berlanjut dan instrumen investasi lainnya tidak cukup prospektif. Misalnya saja instrumen investasi yang dianggap aman seperti emas tidak cukup baik dikoleksi saat suku bunga masih tinggi.

Meskipun sebetulnya tidak ada tren jelas perbandingan antara harga suku bunga dan komoditas sebab saat suku bunga naik, harga komoditas bergerak volatil.

Harga komoditas utamanya akan disetir oleh permintaan atau pasokan komoditas tersebut, ketidakpastian geopolitik yang biasanya mengakibatkan lonjakan harga komoditas dan sebagainya. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective Bedah Tuntas SP2DK dan Pemeriksaan Pajak (Bedah Kasus, Solusi dan Diskusi)

[X]
×