CLOSE [X]
kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.470.000   4.000   0,27%
  • USD/IDR 15.884   -24,00   -0,15%
  • IDX 7.137   -77,78   -1,08%
  • KOMPAS100 1.092   -10,78   -0,98%
  • LQ45 871   -4,94   -0,56%
  • ISSI 215   -3,31   -1,52%
  • IDX30 446   -2,03   -0,45%
  • IDXHIDIV20 539   -0,53   -0,10%
  • IDX80 125   -1,22   -0,96%
  • IDXV30 135   -0,43   -0,32%
  • IDXQ30 149   -0,44   -0,29%

Era suku bunga rendah, Schroders prediksi yield saham dan obligasi di 2020 tak tinggi


Selasa, 10 Desember 2019 / 19:25 WIB
Era suku bunga rendah, Schroders prediksi yield saham dan obligasi di 2020 tak tinggi
ILUSTRASI. Ilustrasi Bursa Efek Indonesia


Reporter: Benedicta Prima | Editor: Herlina Kartika Dewi

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Bank sentral Amerika Serikat (AS) alias The Fed memberikan sinyal tak akan menurunkan suku bunga sejalan dengan data ekonomi negara Paman Sam yang cenderung solid. Hal ini dinilai akan berdampak pada pasar saham maupun obligasi dalam negeri.

Presiden Direktur PT Schroder Investment Management Indonesia Michael Tjoajadi melihat sinyal tersebut akan direspons oleh Bank Indonesia (BI) dengan tidak seagresif tahun ini dalam menurunkan suku bunga. Seperti diketahui, pada tahun ini BI telah menurunkan suku bunga dari 6% menjadi 5%. 

Baca Juga: Citigroup Sekuritas Indonesia: Tahun depan, IHSG berpeluang menembus level 7.000

"Dan Pak Deputi Gubernur Dody Budi Waluyo mengatakan bahwa interest rate akan di bawah untuk waktu yang lama. Artinya obligasi maupun saham tidak akan seperti dulu," jelas Michael dalam Seminar Outlook 2020 di Gedung Bursa Efek Indonesia (BEI), Selasa (10/12). 

Dengan sinyal itu, Michael berpendapat, mulai saat ini Indonesia akan memasuki era suku bunga rendah. Dengan begitu maka imbal hasil obligasi maupun saham diprediksi tidak akan tumbuh double digit. Meskipun, tetap memberikan imbal hasil yang lebih baik dari pada inflasi yang diproyeksikan sekitar 3,5%. 

"Di saham kita bisa 7%-8% itu akan bagus, apalagi sampai 12% itu akan sangat bagus. Kenapa? Karena kita memasuki era suku bunga rendah," jelas dia. 

Meski begitu, Michael melihat masih ada katalis positif yang mendukung pasar saham yakni terkait penerapan Omnibus Law. Dengan adanya insentif pajak dalam Omnibus Law tersebut, kata Michael, semestinya bisa meningkatkan earning per share (EPS) emiten. 

"Itu akan membuat perusahaan efisien dalam menggunakan modal, dan berharap nantinya pajak individual di saham akan kuat dan itu yang akan bisa menggerakkan pasar kita," ujar Michael. 

Baca Juga: Asing catatkan net buy Rp 41,73 triliun sejak awal 2019, OJK: Pasar masih terjaga

Lebih lanjut, Michael juga menyoroti soal peluang asing akan terus keluar dari pasar domestik. Menurutnya ini perlu membuat pelaku pasar hati-hati. Meskipun di sisi lain, dia melihat asing hanya bisa melakukan transaksi atas saham di dalam negeri sekitar 20%-25%. Artinya meski ada risiko terus kelar, porsinya cenderung kecil. 

"Dan harusnya institusional seperti life insurance memegang peranan penting dalam menyediakan likuiditas di pasar, ini yang challenging," jelas dia. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Advokasi Kebijakan Publik di Era Digital (Teori dan Praktek) Mengenal Pentingnya Sustainability Reporting

[X]
×