Reporter: Aloysius Brama | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kinerja emiten properti sepanjang kuartal I tahun 2019 dikuasai oleh perusahaan pengembang kawasan industri. Setidaknya hal itulah yang tampak dari riset lembaga pemeringkat Fitch Ratings.
Dalam keterangannya, Fitch menyebut total penjualan lahan empat emiten utama pengembang kawasan industri di Indonesia yaitu PT Kawasan Industri Jababeka Tbk (KIJA), PT Modernland Realty Tbk (MDLN), PT Puradelta Lestari Tbk (DMAS), PT Bekasi Fajar Industrial Estate Tbk (BEST) selama kuartal I-2019 melonjak hingga Rp 1,7 triliun dibanding kuartal I-2018. Padahal pada periode yang sama di tahun lalu, jumlah penjualan lahan keempat perusahaan itu turun 18%.
Fitch mengatakan kondisi pemerintahan yang relatif kondusif turut mendorong ketertarikan investor untuk melakukan aksi investasi di sektor riil. Hal itu didukung dengan sederet kebijakan dan penyediaan infrastruktur yang memadai oleh pemerintah.
Data yang dirilis oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) juga menyatakan demikian. Sepanjang kuartal I tahun ini realisasi investasi di sektor riil, baik dari asing maupun domestik masing-masing mencapai Rp 108 triliun dan Rp 87 triliun. Secara total, pertumbuhannya mencapai 5,3% dimana angka itu merupakan yang tertinggi sejak empat kuartal terakhir. Wajar bila pertumbuhan itu juga mengerek kinerja emiten pengelola kawasan industri.
Analis sektor properti MNC Sekuritas Muhammad Rudy mengatakan, hasil riset itu menjadi angin segar bagi para pelaku industri riil, tak terkecuali perusahaan properti pengembang kawasan industri. “Inflow investasi yang baik memiliki proyeksi untuk meningkat lebih positif,” kata Rudy kepada Kontan.co.id, Kamis (13/6).
Rudy menilai kondisi tersebut wajar bila lantas mendorong kinerja emiten pengembang kawasan industri. “ Masuknya perusahaan-perusahaan baru, terutama perusahaan asing seperti Alibaba dan beberapa produsen otomotif seperti Wuling dan DFSK tentu meningkatkan permintaan lahan untuk pembangunan pabrik,” kata Rudy.
Bila melihat laporan keuangan beberapa emiten pengembang kawasan industri yang disebutkan Fitch memang tampak terjadi peningkatan pendapatan dari sektor tersebut.
Tahun lalu, DMAS misalnya masih mengalami kerugian untuk sektor pengembangan kawasan industri sebesar Rp 284,91 miliar sepanjang kuartal I-2019. Sedangkan tahun ini, DMAS sudah mencatatakan pendapatan sebesar Rp 296,67 miliar sepanjang kuartal I-2019.
Pun dengan BEST dan MDLN. Kedua emiten ini mengalami pertumbuhan pendapatan industrial yang signifikan. Industrial sales BEST misalnya mengalami peningkatan dari Rp 181,7 miliar di kuartal I tahun lalu menjadi Rp 211,6 miliar pada tahun ini. Angka itu menunjukkan pertumbuhan sebesar 16, 45% secara year on year (yoy).
Sama dengan BEST, pertumbuhan pendapatan MDLN untuk sektor industri cukup tinggi. Tercatat sepanjang kuartal I tahun lalu, pendapatan sektor industrial MDLN hanya sebesar Rp 86,85 miliar. Sedangkan pada tahun ini, pendapatan di sektor tersebut tumbuh hingga mencapai 729,10% atau sebesar Rp 720,08 miliar.
Sedangkan untuk KIJA, pendapatan marketing sales mereka di kuartal I lalu mencapai Rp 221 miliar. Hampir separuh atau sekitar 45% dari jumlah tersebut disumbangkan dari sektor industrial.
Di luar daftar yang disebutkan Fitch, Rudy juga menyebut salah satu emiten pengembang kawasan industri lain yaitu PT Surya Semesta Internusa Tbk (SSIA) juga memiliki prospek yang menarik. SSIA pada tahun ini sedang berfokus mengembangkan proyek Subang City of Industry. Dari segi marketing sales, sepanjang kuartal I-2018 SSIA sudah mencapai sekitar 45% dari target tahun ini.
Rudy menambahkan emiten properti pengembang kawasan industri memiliki prospek menarik seiring dengan redanya tensi politik. “Derasnya investasi di sektor riil, baik dari luar negeri dan dalam negeri, juga menjadi katalis positif,” tandasnya.
Hal itu menjadi peluang ketika emiten-emiten properti yang mengedepankan produk residensial masih harus berjibaku dengan sentimen suku bunga Bank Indonesia.
Meski begitu dari segi saham, hanya beberapa emiten saja yang harganya sudah terefleksikan berdasarkan kinerjanya.
“Hanya DMAS dan SSIA yang harganya sudah mengalami peningkatan sepanjang tahun ini,” kata Rudy.
Ketika berita ini ditulis, harga saham SSIA berada di level Rp 715. Sepanjang tahun, harga SSIA sudah melambung hingga 43%. Sedangkan DMAS sendiri sudah melambung hingga 67,3% secara year to date (ytd) menempatkan sahamnya di level Rp 266 ketika berita ini ditulis.
Analis Oso Sekuritas Sukarno Alatas menambahkan kenaikan peringkat utang Indonesia oleh lembaga pemeringkat lain yaitu Standart and Poor’s ia nilai juga bisa mendorong investasi riil di Indonesia.
“Karena kepercayaan investor untuk masuk (berinvestasi) semakin besar,” tandas Sukarno, Kamis (13/6).
Hal itu tentu menjadi peluang bagi emiten pengembang kawasan industri.
Sektor properti juga masih menunggu mengenai potensi BI menurunkan tingkat suku bunga. Hingga sekarang, penurunan suku bunga masih menjadi harapan baik bagi para emiten properti maupun investor saham di sektor ini. “Bunga yang lebih rendah untuk mendanai proyek akan berpotensi meningkatkan permintaan penjualan properti,” tandasnya.
Untuk itu, Sukarno masih merekomendasikan saham-saham tersebut untuk dibeli. “Secara trend berpotensi naik dan berpotensi melanjutkan penguatan dalam jangka menengah,” kata Sukarno.
Sukarno mengatakan saham DMAS, KIJA, BEST dan MDLN masih bisa dibeli dengan target harga masing-masing di level Rp 296, Rp 312, Rp 342, dan Rp 310.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News