Reporter: Narita Indrastiti | Editor: Yudho Winarto
JAKARTA. Volatilitas nilai tukar rupiah terhadap dollar AS sepanjang tahun ini masih cukup tinggi. Meski beberapa kali sempat menguat, belakangan ini mata uang garuda lebih banyak tertekan. Para analis memperkirakan, ketidakpastian di zona Eropa menyebabkan otot dollar AS lebih sterek, sehingga bakal menekan rupiah.
Sejak Bank Indonesia (BI) menurunkan tingkat suku bunga acuan menjadi 7,5%, rupiah terus melemah. Pada Senin (23/2), rupiah melemah 0,09% menjadi Rp 12.836 per dollar AS di pasar spot. Sementara di kurs tengah BI rupiah menguat 0,28% menjadi Rp 12.813 per dollar AS.
Naik turunnya nilai tukar ini memicu sejumlah emiten yang sensitif terhadap pergerakan mata uang menyiapkan segepok strategi. Beberapa emiten bahkan sudah memprediksi, pelemahan rupiah masih akan terjadi di separuh pertama tahun ini.
PT Indofarma Tbk (INAF) misalnya. Emiten farmasi pelat merah ini sudah ketar-ketir terhadap pelemahan rupiah sejak tahun lalu. Maklum, sebagian besar bahan baku perseroan impor.
Demi mengurangi beban pelemahan rupiah, INAF mulai menumpuk bahan baku sejak kuartal IV-2014. "Kami sudah memprediksi ada pelemahan rupiah," jelas Yasser Arafat, Sekretaris Perusahaan INAF, kepada KONTAN, Senin (23/2).
Strategi tersebut menyebabkan INAF lebih efisiensi dan bisa menjaga margin laba bersih. Yasser bilang, sudah mengusulkan ke pemerintah mengkaji kenaikan harga obat generik jika rupiah terus melemah. Namun rencana ini belum ada tanggapan dari pemerintah. INAF juga tak bisa lindung nilai alias hedging, karena biaya yang terlalu mahal.
Aneka kiat antisipasi
Sehingga, perusahaan menjalankan strategi membeli banyak bahan baku saat rupiah menguat. "Karena strategi ini sudah dilakukan sejak tahun lalu, margin di kuartal I tahun ini diharapkan bisa stabil meski ada volatilitas nilai tukar," ujar Yasser.
Sementara industri telekomunikasi yang punya beban utang dollar AS seperti PT Indosat Tbk (ISAT) juga sudah menyiapkan hedging sejak tahun lalu. Demi meminimalisir rugi kurs, ISAT sudah menambah lindung nilai terhadap 50% beban dollar AS.
Emiten ini menganggap pergerakan rupiah masih dalam level wajar. "Eksposur dollar AS sudah terlindungi dengan melakukan hedging sehingga pelemahan rupiah bisa diantisipasi," ujar Andromeda Tristanto, Hubungan Investor ISAT.
Sementara itu, PT Semen Indonesia, Tbk (SMGR) mengaku, tidak terlalu terkena dampak volatilitas rupiah, karena memiliki pengeluaran dan pendapatan dalam denominasi rupiah.
Agung Wiharto, Sekretaris Perusahaan SMGR mengatakan, eksposur dollar AS terhadap laporan keuangan hanya 5%-6%.
SMGR masih bisa mengandalkan dari penjualan ekspor untuk menutupi risiko itu. Tapi, pelemahan rupiah bisa membuat nilai investasi pabrik membengkak.
Reza Nugraha, Analis MNC Securities, mengatakan, emiten siap menghadapi naik turunnya nilai tukar. "Dampak volatilitas rupiah di tahun ini sudah diantisipasi, sehingga tak akan lebih buruk dari tahun lalu," ujar dia.
Namun, investor harus memperhatikan saham yang bakal kena dampak. Pasalnya, pelemahan rupiah berlanjut di jangka pendek. Salah satu yang terkena dampak adalah emiten pakan ternak. Sementara emiten yang diuntungkan adalah perusahaan berbasis ekspor, seperti manufaktur, konsumer dan kebun.
Kalau menurut Analis Semesta Indovest Aditya Perdana Putra, emiten yang kinerjanya bisa tersungkur karena pelemahan rupiah adalah emiten beban utang dollar AS tinggi seperti ISAT dan PT Garuda Indonesia Tbk.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News