Reporter: Rashif Usman | Editor: Anna Suci Perwitasari
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Indeks Harga Konsumen (IHK) kembali turun atau mengalami deflasi selama lima bulan beruntun hingga September. Ini adalah deflasi terpanjang setelah tahun 1999.
Bank Indonesia melaporkan pada September 2024 terjadi deflasi sebesar 0,12% secara bulanan atau month to month (MtM). Deflasi ini lebih tinggi bila dibandingkan bulan sebelumnya yang mencapai 0,03% MtM.
Nah, tren deflasi tersebut tampaknya membawa dampak negatif bagi kinerja sejumlah emiten.
Customer Literation and Education PT Kiwoom Sekuritas Indonesia, Vinko Satrio Pekerti menilai deflasi yang terjadi selama 5 bulan berturut-turut ini menunjukkan tren pelemahan daya beli konsumen yang dapat berdampak negatif pada pendapatan perusahaan di sektor-sektor yang terkait dengan demand konsumsi domestik, seperti sektor consumer goods dan ritel.
Selain itu, emiten di sektor otomotif dan manufaktur juga dapat terdampak negatif apabila emiten-emiten tersebut memiliki struktur fixed cost yang tinggi.
"Biaya tetap yang tinggi dapat menjadi halangan perusahaan untuk mempertahankan margin keuntungan yang telah dicapai perusahaan selama ini," kata Vinko kepada Kontan, Kamis (3/10).
Baca Juga: Deflasi Lima Bulan Beruntun, Pendapatan Emiten Konsumer & Ritel Diprediksi Tertekan
Tekan Kinerja Pendapatan
Vinko melihat emiten di sektor-sektor yang sensitif terhadap permintaan domestik kemungkinan akan mengalami penurunan kinerja pendapatan di kuartal III-2024. Deflasi dapat menekan harga jual produk perusahaan, sementara biaya produksi belum tentu dapat turun dengan cepat.
"Saham-saham di sektor consumer discretionary dan ritel ke depannya berpotensi mengalami tekanan jual karena adanya ekspektasi para investor di pasar yang mengantisipasi risiko penurunan pendapatan dan margin profitabilitas," ujarnya.
Ia juga menyampaikan bahwa secara outlook jangka pendek sektor consumer goods dan ritel akan negatif. Saham-saham pada sektor tersebut dapat mengalami volatilitas tinggi dan performa yang cenderung bearish.
"Potential recovery untuk kinerja jangka pendek emiten-emiten ini kami pandang masih mungkin terjadi, apabila pemerintah dapat menerapkan kebijakan moneter atau fiskal yang tepat," terangnya.
Ia mencontohkan, emiten seperti PT Unilever Indonesia Tbk (UNVR) atau PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk (ICBP) yang merupakan bagian dari sektor konsumsi berpeluang untuk merasakan dampak penurunan permintaan domestik.
Sedangkan emiten-emiten seperti PT Astra International Tbk (ASII) di sektor otomotif dan PT Bumi Serpong Damai Tbk (BSDE) pada sektor properti juga dapat terdampak negatif akibat melemahnya permintaan konsumen dan mengurangi pendapatan emiten.
Oleh karenanya, ia menyarankan agar para investor dapat mencermati berbagai guidance dari para manajemen perusahaan terkait strategi menghadapi deflasi ini.
Vinko merekomendasikan untuk wait and see saham ICBP dengan target beli di rentang harga Rp 11.625-Rp 11.700 per saham, apabila harga saham turun menembus level Rp 12.000 per saham.
Selain itu, ia juga merekomendasikan untuk trading buy saham ASII dengan target harga terdekat di Rp 5.300 per saham dan target harga selanjutnya di Rp 5.475 per saham.
"Namun waspadai apabila terjadi penurunan harga di bawah Rp 5.000 karena berpotensi melanjutkan penurunan ke area Rp 4.800-Rp 4.870 untuk menutup gap yang terjadi pada Mei 2024 lalu," tutupnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News