Reporter: Veri Nurhansyah Tragistina | Editor: Sandy Baskoro
JAKARTA. Prospek emiten sektor pertambangan batubara masih meredup. Satu tantangan baru yang muncul adalah potensi penurunan impor batubara dari negara konsumen terbesar di dunia, yaitu China.
Analis UBS, Andreas Bokkenheuser, menuturkan impor batubara dari China bakal tertekan seiring menurunnya permintaan dari sektor thermal power. Faktor ini diperkuat kebijakan bank di China yang membatasi pemberian kredit ke trader batubara.
Ini menyebabkan trader China sulit mendapat fasilitas letters of credit yang ujungnya bisa menghentikan impor batubara. "Sumber industri di sana melihat kemungkinan penurunan impor batubara dari rata-rata 20 juta ton per bulan menjadi 15 juta ton per bulan," kata Andreas, dalam risetnya akhir pekan lalu.
Sekretaris Perusahaan PT Bukit Asam Tbk (PTBA), Joko Pramono, mengakui kondisi aktual di China menambah tantangan bagi industri batubara. Tapi PTBA sudah mengantisipasi penurunan permintaan dari China dengan berbagai strategi. Pertama, PTBA sedikit demi sedikit mengalihkan ekspor batubara dari China ke negara lain seperti Taiwan dan Jepang. "Sejauh ini strategi kami cukup berhasil, Taiwan tercatat menyumbang 16,3% dari total ekspor semester I 2012, sedangkan Jepang 6,6%," kata Joko kepada KONTAN, akhir pekan lalu.
Kedua, PTBA juga menerapkan perubahan strategi operasional. Di tahun ini, PTBA tidak mengeksploitasi batubara berkalori 5.900 kilo calori (kcal) tapi lebih memilih produksi batubara berkalori tinggi yaitu lebih dari 6.000 kcal. Soalnya, permintaan dan harga batubara berkalori 5.900 kcal turun cukup tajam. "Itu yang banyak diminta China, jadi kami produksi yang kalorinya lebih tinggi karena permintaan dan harganya masih cukup lumayan," kata Joko.
PT ABM Investama Tbk (ABMM) juga mulai mengantisipasi penurunan permintaan batubara dunia. Willy Adipradhana, Direktur Keuangan ABM bilang, perusahaan kemungkinan merevisi target produksi batubara demi menyesuaikan kondisi terkini.
Sebelumnya ABM menargetkan produksi batubara 5,5 juta ton. "Revisi target volume sedang dalam proses finalisasi dan akan kami sampaikan dalam waktu dekat," kata Willy.
Tapi efek pelemahan pasar batubara terbilang minim ke kinerja ABMM. Sebab, selain dari bisnis batubara, pendapatan ABM disumbang bisnis lain seperti pembangkit listrik, logistik dan kontraktor pertambangan. ABMM optimistis pendapatan konsolidasi tumbuh 30%-50% dari realisasi 2011 senilai Rp 6,6 triliun.
Emiten batubara lain yaitu PT Berau Coal Energy Tbk (BRAU) menempuh jalan lain demi mereduksi efek slowdown industri. Berau merevisi anggaran belanja modal 2012 dari semula US$ 300 juta menjadi hanya berkisar US$ 165 juta hingga US$ 190 juta. Berau menunda beberapa proyek infrastruktur yang seharusnya dikerjakan tahun ini menjadi tahun depan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News