Reporter: Agus Triyono | Editor: Rizki Caturini
JAKARTA. Berinvestasi harus dimulai dari mendisiplinkan diri sendiri. Begitulah prinsip yang dianut oleh Elin Waty, Chief Distribution Officer PT Sun Life Financial Indonesia dalam memupuk investasi. Dengan memegang teguh prinsip itulah, sejak pertama kali menapaki dunia kerja profesional pada 1994 lalu, ibu dua orang anak ini rajin menabung sebagian kecil dari pendapatannya.
Tidak mudah memang menerapkan prinsip investasi semacam itu. Apalagi saat itu, dengan penghasilan yang hanya sebesar Rp 700.000, Elin masih harus memenuhi banyak kebutuhan hidupnya sendiri. Misal, membayar kos, keperluan hidup sehari- hari dan bahkan menyisihkan penghasilan untuk membantu orangtua.
Tapi dengan prinsip memaksakan dan mendisiplinkan diri, wanita yang hobi berat membaca buku ini mampu menyisihkan Rp 50.000 dari penghasilan bulanan dia untuk ditabung. Dari menabung itu, akhirnya kebiasaan berinvestasi dari wanita ulet ini pun tumbuh. Elin yang saat itu mulai punya modal mulai berfikir untuk mengembangkan kekayaannya.
Berbekal modal Rp 1 juta dan pengetahuan di bidang investasi selama dia bekerja kala itu, akhirnya ia memutuskan untuk mencoba peruntungan di investasi saham. Hasilnya luar biasa, hanya dalam tempo satu tahun, wanita murah senyum ini sudah berhasil mengembangkan investasinya. Bukan hanya itu saja, dia juga mampu membahagiakan orangtua dengan membawa mereka berlibur ke luar negeri.
Tapi sayang, keberuntungan berinvestasi di saham tersebut tidak berlangsung lama. Krisis ekonomi hebat yang menerjang Indonesia pada tahun 1997-1998 silam membuat pasar modal dan harga sejumlah saham rontok. Itu membuat Elin harus menelan pil pahit. Hampir semua uang tabungan yang ia investasikan untuk membeli saham amblas tanpa bekas.
Elin mengaku, keterpurukan investasi sahamnya tersebut sebenarnya bukan hanya disebabkan oleh faktor krisis ekonomi semata. Tapi juga lantaran kecerobohan dia. Elin yang sebenarnya waktu itu sibuk dengan pekerjaan sehingga tidak punya waktu banyak lagi untuk memonitor investasi sahamnya. Bukan hanya itu saja, semua keuntungan yang diperolehnya pun terus dia putar untuk bermain saham. "Itu pengalaman paling fatal, dan saya tidak mau ingat- ingat lagi" katanya.
Dana pendidikan anak
Berbekal pengalaman pahit itulah wanita berkulit putih ini mulai berhati- hati dalam mengembang biakkan dana. Dia memutuskan berhenti bermain di instrumen investasi yang berisiko tinggi, seperti saham. Wanita karier ini pun kemudian banting stir dan mengalihkan dana investasinya ke beberapa instrumen yang lebih aman, salah satunya properti.
Bersama dengan sang suami, Elin kemudian membeli beberapa unit rumah toko (ruko) seharga Rp 900 juta dengan cara kredit selama sepuluh tahun. Impiannya sederhana saja, uang sewa yang dihasilkan dari ruko bisa ia gunakan untuk tambahan penghasilan ketika dia dan sanag suami telah pensiun kelak.
Untuk tujuan yang kurang lebih sama, Elin juga membenamkan investasi pada produk-produk asuransi unitlink. Elin memilih instrumen investasi unitlink lantaran dia tidak ingin repot dan mengulangi kegagalan pada saat dia berinvestasi di saham tahun 1997-1998 yang lalu.
Selain unitlink, Elin juga menanamkan investasi di instrumen tabungan pendidikan. Tentu saja, tabungan ini, dia khususkan untuk kepentingan pendidikan dua buah hatinya.
Pengalaman saat mendaftarkan anak pertama ke bangku sekolah dasar (SD) membuka matanya tentang perlunya tabungan pendidikan. Saat itu, alumnus Universitas Atmajaya Jakarta ini tidak punya persiapan dana apa-apa untuk biaya sekolah anak. “Dari pengalaman itu, saya tidak mau main- main, sehingga ketika anak saya yang kedua lahir, hari pertama yang saya lakukan adalah segera membuka tabungan pendidikan bagi dia,” kata Elin.
Kebiasaan berinvestasi ini juga dia ajarkan kepada sang anak. Saat ini, anak-anaknya sudah mempunyai tabungan sendiri di bank. "Kalau diberi uang sama nenek, langsung mereka tabung," ujarnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News