Reporter: Danielisa Putriadita | Editor: Wahyu T.Rahmawati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Hingga pertengahan kuartal dua tahun ini, sektor properti masih belum bergairah. Padahal, pelaku pasar sempat optimistis tahun ini bakal jadi tahun pemulihan sektor properti.
Prospek sektor properti berpotensi makin suram lantaran Bank Indonesia (BI) menaikkan BI 7-day repo rate (7DRR). Kenaikan suku bunga acuan ini bisa membuat suku bunga kredit rumah naik. Biasanya, ini jadi sentimen negatif bagi sektor properti.
Tapi, para analis memperkirakan, kenaikan BI 7-DRR menjadi 4,5% tidak akan menambah beban sektor ini. Analis menilai, dampak pelemahan daya beli terhadap sektor properti lebih besar. "Kini kenaikan suku bunga bukan menjadi sentimen utama pemberat kinerja sektor properti," kata Kepala Riset Koneksi Kapital Alfred Nainggolan, Jumat (18/5).
Pendapat Kepala Riset Narada Kapital Kiswoyo Adi Joe setali tiga uang. Ia menilai, kenaikan tingkat suku bunga BI termasuk kecil dan tidak memberikan pengaruh lebih buruk pada sektor properti.
Apalagi posisi suku bunga acuan di 4,5% masih wajar. Saat sektor properti mencapai masa kejayaannya, suku bunga acuan bahkan berada di kisaran 6%-7%. "Saat ini demand dari kelas menengah atas memang berkurang dan mayoritas emiten mengincar kelas tersebut," imbuh Alfred.
Selama ini, masyarakat kelas ekonomi menengah ke atas membeli properti untuk tujuan investasi. Hal ini yang menurut Alfred, memberatkan kinerja sektor properti.
Sementara, persedian rumah lama saja jumlahnya berlebih. "Over supply terjadi dalam dua tahun ke belakang, sehingga harga properti belum naik bagus," kata Alfred. Pertumbuhan ekonomi dalam negeri yang melambat juga mempengaruhi sektor properti. Hal ini membuat pembelian properti, terutama untuk investasi, berkurang.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia di kuartal I-2018 lalu hanya sebesar 5,06%. Angka tersebut di bawah ekspektasi pasar, yakni sebesar 5,19%. Alhasil, masyarakat cenderung wait and see dan menunggu adanya ekspektasi pertumbuhan ekonomi yang lebih baik, baru melakukan pembelian properti.
Faktor lain yang juga memberatkan saham properti adalah likuiditas. Lagi-lagi, hal ini terkait dengan pembelian properti oleh masyarakat kelas menengah untuk investasi.
Karena tujuannya untuk berinvestasi, para pemilik properti ogah melepas propertinya saat harga masih cenderung rendah. Padahal, permintaan di segmen bawah masih cukup besar.
Di satu sisi, Alfred mengatakan, emiten properti juga kesulitan mengandalkan recurring income atau pendapatan berulang yang didapat dari penyewaan kantor untuk mendorong pertumbuhan kinerja. Penyebabnya, pertumbuhan recurring income hanya berasal dari kenaikan tarif dan mayoritas saham properti melakukan hal itu untuk menyiasati biaya operasional.
Oleh karena itu, para analis menilai emiten properti yang memiliki target pasar masyarakat menengah ke bawah bakal cenderung lebih bisa bertahan di tengah lesunya sektor properti.
Kinerja lumayan
Sementara, Kiswoyo menilai, sektor properti saat ini memang belum waktunya untuk bangkit, karena siklus 10 tahunan. "Properti baru akan booming lagi di 2022, di 2020 mulai kelihatan sektor properti bangkit, jadi ini bubble sudah meletus dan tinggal tunggu bangkit saja," kata dia.
Sebenarnya, kinerja emiten properti di kuartal I-2018 cukup menggembirakan. Lihat saja kinerja PT Intiland Development Tbk (DILD). Emiten ini berhasil mencatatkan pertumbuhan kinerja selama kuartal I 2018.
DILD membukukan laba bersih Rp 112,8 miliar, atau meningkat 178% dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Pertumbuhan laba bersih ini sejalan dengan peningkatan pendapatan usaha sebesar 78% menjadi Rp 709,2 miliar.
Tapi tak semua emiten mencatatkan kinerja ciamik. PT Ciputra Development Tbk (CTRA) malah mengalami perlambatan kinerja akibat membengkaknya beban keuangan. Laba bersih CTRA merosot 42,1% dibandingkan periode yang sama pada tahun sebelumnya. Hal inilah yang membuat Alfred menilai pemulihan kinerja emiten properti masih belum akan terjadi di tahun ini.
Meski begitu, Alfred merekomendasikan saham PT Bumi Serpong Damai Tbk (BSDE). Alasannya, valuasi perusahaan properti ini masih murah karena di bawah 10 kali. Terlebih, kinerja BSDE sepanjang 2017 lalu ciamik, lantaran berhasil mencatatkan kenaikan pendapatan 58%. Ia pun merekomendasikan beli untuk BSDE dengan target harga Rp 2.040 per saham.
Serupa, Kiswoyo pun menjagokan BSDE karena perusahaan ini memiliki prospek pertumbuhan lebih tinggi. Mengingat emiten tersebut punya landbank cukup luas.
Selain itu, ia pun menjagokan PT Kawasan Industri Jababeka (KIJA) dengan alasan prospek kinerja positif. Ia menyarankan beli saham KIJA dengan target harga Rp 290 per saham.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News