Reporter: Veri Nurhansyah Tragistina | Editor: Avanty Nurdiana
JAKARTA. Pemerintah segera menerapkan larangan ekspor mineral setelah empat tahun dipersiapkan. Pekan lalu, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memutuskan akan tetap mulai memberlakukan larangan ekspor mineral mentah per 12 Januari 2014.
Kebijakan ini tertuang dalam amanat Undang-undang (UU) Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba). Beleid ini mewajibkan pengolahan dan pemurnian mineral di dalam negeri agar bisa memberikan nilai tambah ketika diekspor.
Reza Nugraha, Analis MNC Securities menilai, kebijakan ini dalam jangka panjang bakal berdampak positif bagi emiten logam dan mineral. Sebab, mereka akan mendapatkan nilai tambah dari hasil menjual produk olahan, bukan lagi hanya bijih mineral.
Namun sebelumnya, emiten ini akan memasuki masa transisi. Sebab biasa mereka memproduksi nikel dan bauksit. Dua emiten yang masuk kategori ini tentu saja PT Vale Indonesia Tbk (INCO) dan PT Aneka Tambang Tbk (ANTM).
Hanya saja di masa transisi ini diperkirakan bakal menghambat pertumbuhan kinerja keuangan dua emiten itu dalam besaran yang bervariasi. "Emiten perlu waktu untuk menyesuaikan diri misalnya mempersiapkan pengoperasian unit pemurnian alias smelter," kata Reza, Senin (9/12).
Aneka Tambang atau Antam sejatinya sudah mempersiapkan diri untuk menghadapi regulasi ini. Salah satu caranya adalah dengan membangun pabrik pengolahan bijih bauksit menjadi chemical grade alumina (CGA) di Tayan, Kalimantan Barat.
Antam harus mengeluarkan dana investasi US$ 490 juta. Kapasitas pabrik 300.000 ton CGA per tahun. Pada 28 Oktober 2013, Antam sudah melakukan uji operasi (commisioning) pada pabrik CGA Tayan.
Masalahnya, pabrik ini baru ditargetkan beroperasi secara komersial pada semester II 2014. "Untuk mengoperasikan smelter secara maksimal tentunya butuh waktu, minimal satu tahun," terang Reza.
Erindra Krisnawan, Analis CIMB Securities dalam risetnya menulis, tekanan terhadap Antam bertambah lantaran porsi ekspor bijih nikel terhadap penjualan lumayan signifikan. Erindra memproyeksikan, ekspor bijih nikel akan menyumbang sekitar 25% dari total penjualan Antam di tahun ini.
Per 30 September 2013, segmen bijih nikel sudah menyumbang 33% dari total penjualan Antam yang tercatat Rp 8,81 triliun. Proyeksi negatif yang dihadapi Antam berbanding terbalik dengan INCO.
Erindra menilai, implementasi larangan ekspor ini sama sekali tidak akan berdampak pada INCO. Sebab, INCO biasa mengekspor nikel yang sudah diolah dan dimurnikan yakni 78% nikel.
INCO memang sudah memiliki smelter nikel di Sorowako, Sulawesi Selatan. Smelter Sorowako sudah memproduksi 78% nikel hingga 73.000 matte per tahun.
INCO bahkan punya rencana kembali membangun smelter di Bahadopi, Sulawesi Tenggara. Unit Bahadopi bakal memproduksi 98% nikel berkapasitas 2 x 18.000 matte per tahun.
Dalam paparan publik belum lama ini, Nico Kanter, Presiden Direktur INCO menyatakan, perlu mengolah dan memurnikan nikel terlebih dahulu. Pasalnya, nilai jual bijih nikel itu terbilang rendah. "Kami menyambut baik inisiatif pemerintah, tapi kebijakan ini perlu disikapi secara holistik agar tidak merugikan produsen mineral lainnya," kata Nico.
Erindra merekomendasikan outperform pada INCO di Rp 3.025. Sementara pada saham ANTM, dia merekomendasikan, netral di harga Rp 1.450. Harga ANTM turun 0,8% di Rp 1.240 dan INCO naik 0,97% di Rp 2.600 pada Senin (12/9).
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News