Reporter: Grace Olivia | Editor: Wahyu T.Rahmawati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Di tengah ekspektasi kenaikan suku bunga bank sentral Amerika Serikat (AS) alias Federal Reserves yang berkelanjutan hingga akhir tahun, perhatian investor tentu tertuju pada mata uang dollar AS sebagai aset yang menggiurkan. Lantas, dollar pun terus terapresiasi, bahkan membuat nilai tukar rupiah terus tertekan menyentuh level terlemahnya berkali-kali dalam tahun ini.
Mengutip Bloomberg, pasangan mata uang USD/IDR masih dipatok Rp 14.645. Meski Bank Indonesia telah menaikkan suku bunga acuan hingga 5,25%, kurs rupiah belum menunjukkan apresiasi yang signifikan.
Namun, tak hanya dollar AS yang bersemi. Mata uang dollar Singapura (SGD) juga terangkat, terutama di hadapan rupiah. Di pasar spot hari ini, pasangan SGD/IDR menguat ke level Rp 10.738,60. Ini merupakan level terkuat SGD terhadap rupiah sejak 1992.
Apresiasi yang dialami pasangan SGD/IDR bahkan telah melampaui posisi dollar Australia terhadap rupiah. Hari ini, pasangan AUD/IDR di pasar spot ditutup pada level Rp 10.704,06.
Head of Economic & Research UOB Indonesia Enrico Tanuwidjaja menjelaskan, penguatan mata uang SGD dipicu oleh kebijakan moneter Bank Sentral Singapura (MAS). April lalu, MAS mengubah arah kebijakan moneternya dari netral menjadi apresiasi secara bertahap (gradual appreciation).
Seperti yang diketahui, kebijakan moneter MAS berbeda dengan Bank Indonesia maupun bank sentral dunia lainnya. "MAS menggunakan exchange rate policy, sementara Bank Indonesia menggunakan interest rate policy," kata Enrico, Rabu (29/8). Perbedaan kebijakan moneter ini, kata Enrico, cenderung membuat mata uang SGD lebih elastis dan reaktif terhadap sentimen global.
Isu perang dagang dan krisis Turki, misalnya, sempat menyeret SGD melemah bersama dengan mata uang utama maupun emerging market lainnya. "Namun, saat isu mereda, SGD cenderung mampu menguat lebih cepat dan lebih tinggi," ujar Enrico.
Perbedaan kedalaman pasar modal dan pasar mata uang juga membuat mata uang SGD mampu pulih lebih cepat ketimbang mata uang rupiah pasca tekanan sentimen global yang dialami.
Di sisi lain, mata uang AUD kian meredup. Analis Monex Investindo Futures Putu Agus Prasuanmitra, menjelaskan, minat investor terhadap mata uang Negeri Kanguru ini berkurang lantaran melihat kebijakan moneter bank sentralnya yang longgar hingga tahun depan.
"Bank Sentral Australia (RBA) diperkirakan tidak akan menaikkan suku bunga sampai kuartal ketiga tahun depan. Ini sangat kontras dengan kebijakan bank sentral negara lainnya seperti AS, Uni Eropa, dan Inggris yang justru terus memperketat moneter," kata Putu, Rabu (29/8).
Belum lagi, sentimen negatif perang dagang antara AS dan China juga masih membalut AUD. Pasalnya, perekonomian Australia sangat bergantung pada perekonomian China sebagai negara mitra dagang utamanya.
Untuk itu, Putu tidak menyarankan investor masuk ke instrumen AUD untuk saat ini. Sebab, sentimen yang mempengaruhi gerak AUD saat ini lebih banyak yang merugikan, ketimbang mendukungnya. "Sejak awal tahun juga sudah terlihat AUD cenderung melemah terhadap dollar AS," kata Putu.
Sementara, mata uang USD diproyeksi masih akan terus menguat di tengah ekspektasi kenaikan suku bunga The Fed dan posisinya sebagai aset safe haven yang paling diminati. Putu menilai, dibanding AUD, mata uang USD dan SGD memiliki fundamental yang lebih baik dan prospek yang lebih menguntungkan bagi investor .
Enrico menambahkan, meski sebagai negara pengimpor Singapura juga rentan terhadap isu perang dagang, mata uang SGD secara fundamental lebih kuat ketimbang AUD dan rupiah.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News