Reporter: Grace Olivia | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Neraca perdagangan Indonesia kembali mencatatkan defisit pada periode Juli lalu. Badan Pusat Statistik (BPS) bahkan mengumumkan perdagangan Indonesia mengalami defisit sebesar US$ 2,03 miliar, terbesar setelah defisit pada Juli 2013 silam.
Kondisi neraca dagang ini tentu bukan kabar baik bagi nilai tukar rupiah. Apalagi, belum lama ini data defisit neraca transaksi berjalan (CAD) Indonesia di kuartal-II 2018 juga melebar menjadi 3% terhadap produk domestik bruto (PDB).
"Defisit neraca dagang ini cukup signifikan, CAD juga melebar. Butuh koordinasi kebijakan yang tepat dari pemerintah untuk mencegah ini berlanjut dan melemahkan rupiah," ujar Head of Economic & Research UOB Indonesia Enrico Tanuwidjaja, Rabu (15/8).
Lantas, mata uang rupiah pun menjadi salah satu yang terdepresiasi paling dalam di kawasan Asia, setelah mata uang rupee India. Hingga hari ini nilai tukar rupiah telah terdepresiasi lebih dari 7%, lebih buruk dari depresiasi mata uang Filipina, Korea Selatan, dan China.
Enrico menilai, depresiasi mata uang yang dalam ini tak dapat terhindarkan mengingat Indonesia masih mencatat defisit neraca transaksi berjalan. "Kita lebih baik dari India karena fiskal defisit kita lebih kecil," ujarnya.
Meski demikian, Enrico menggarisbawahi pelemahan rupiah ini juga didominasi oleh sentimen eksternal yang terus menerpa secara bertubi-tubi. Mulai dari ekspektasi kenaikan suku bunga The Fed, perang dagang dan respon retaliasinya, hingga krisis ekonomi Turki saat ini.
Tengok saja mata uang ringgit yang juga tertekan ke level terendahnya tahun ini di level 4,1040, begitu pula dengan dollar singapura di level 1,3811. "Mereka negara dengan transaksi berjalan surplus, tapi juga tertekan dalam. Artinya, sentimen ini memang menerpa semua mata uang regional maupun emerging market," kata Enrico.
Ia berharap, kolaborasi kebijakan pemerintah dan Bank Indonesia mampu menjaga kestabilan rupiah. Toh, Enrico menilai hingga saat ini BI sudah menaikkan suku bunga secara kumulatif sebanyak 125 basis poin. Pemerintah juga tengah meredam impor dengan beragam upaya seperti pengurangan barang dan pemakaian biodiesel B20, hingga upaya pendisiplinan fiskal dan moderasi pada program infrastruktur yang selama ini ekspansif.
"Ini semua menjadi payung strategi pemerintah untuk mengutamakan kestabilan ketimbang memicu pertumbuhan," ujarnya.
Untuk itu, Enrico belum mengubah proyeksinya terhadap nilai tukar rupiah di akhir tahun terkait dengan adanya sentimen krisis Turki saat ini. Menurutnya, pergerakan kurs masih akan berkiblat pada prospek kebijakan The Fed dan perkembangan perang dagang. Ia memprediksi, di akhir tahun kurs rupiah akan ditutup pada kisaran Rp 14.600 - Rp 14.700 per dollar AS.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News