Sumber: Reuters |
JAKARTA. Masih ingat akronim BRICS rekaan Jim O'Neill dari Goldman Sachs di tahun 2001? Akronim ini sudah menjelma menjadi blok negara berkembang baru yang beberapa hari lalu merampungkan pertemuannya di Afrika Selatan. Namun, Brasil, Rusia, India, China, dan Afsel, yang sudah makin matang dan lebih lambat harus menghadapi saingan baru. Akronim baru negara berkembang yang ekonominya tumbuh pesat ditemukan lagi.
Adalah TIMP yaitu Turki, Indonesia, Meksiko, Filipina yang kini mendapat berkat pertumbuhan ekonomi tinggi. Untuk tahun ini, IMF memprediksi PDB Meksiko dan Turki mencapai 3,5%, Filipina 4,8%, dan Indonesia 6,3%.
Kemilau TIMP juga mencorong di pasar saham. Dalam 12 bulan terakhir hingga 25 Maret lalu, indeks saham MSCI BRICS turun 6,5%. Namun, indeks saham Indonesia reli 9,4%, bahkan indeks Filipina melonjak 37,7%. Baru-baru ini, Filipina juga mendapat predikat investment grade dari Fitch.
Pencipta singkatan TIMP adalah Bob Turner, Chief Investment Officer dari Turner Investment Partner, sebuah aset manajemen di Pennsylvania. Turner melihat TIMP memiliki kualitas ekonomi yang bisa mendorong pasar saham mereka melaju kencang dan menguntungkan. Kualitas ini meliputi dukungan demografi serta penguatan ekonomi dan institusi politik.
"Mereka memiliki populasi muda, dengan jumlah pekerja yang akan pensiun juga tinggi. Mereka pun memiliki infrastruktur yang perlu dibangun dan sistem perbankan dengan tingkat leverage rendah," jelas Turner.
Tingkat leverage rendah yang dimaksud Turner berarti pemerintah dan individu di negara-negara TIMP belum terlalu banyak bergantung pada utang. Dus, ruang untuk meminjam demi mendongkrak pertumbuhan masih lebar.
Turner berkata ada sejumlah negara kecil lainnya yang memenuhi kriteria di atas. Namun ia tak memasukkannya dalam TIMP karena mereka tak punya bursa saham yang likuid, basis industri beragam, dan sistem hukum dan finansial yang cukup baik.
Daya tarik yang ganjil
Turner menambahkan, setiap negara TIMP memiliki 'keganjilan' tersendiri yang justru menjadi daya tarik mereka. Contohnya, lokasi strategis Turki sebagai jembatan Asia dan Eropa, sekaligus penghubung Rusia dan Arab.
Lalu, industri Meksiko mengalami masa yang disebutĀ 'manufacturing renaissance'. Indonesia dengan pertumbuhan kelas menengah yang sangat cepat di Asia. Serta industri call center Filipina yang tengah booming.
Rick Schmidt, co-manager Harding Loevner Emerging Markets Fund, sepakat dengan TIMP soal nilai plus TIMP. Namun begitu, Schmidt lebih menikmati sajian TIMP secara ala carte, ketimbang seluruh menu.
"Demografi sangat menarik di negara-negara ini. Saya suka pasar mereka, saya hanya tak menyukai konsep mengelompokkan mereka bersama-sama," tuturnya.
Alasan dia, melihat TIMP sebagai satu entitas akan mengurangi peluang investor dalam melihat pasar lain yang lebih produktif apabila kondisi TIMP menurun. Ia juga mempertanyakan apakah return TIMP terlalu baik untuk terus tumbuh?
"Semua cerita itu nyata dan pasar mereka berkinerja sangat baik. Tapi apakah kinerja masa lalu menjamin hasil di masa depan?" ucapnya. Ia mencontohkan Filipina yang menurutnya memiliki valuasi bursa terlalu tinggi. Namun ia masih memiliki aset tiga negara TIMP lainnya.
Sementara Scott Kilmo, co-manager Amana Developing World Fund, menyatakan kekhawatiran yang serupa atas saham Filipina. Tapi ia tetap melihat masa depan TIMP masih cerah.
Di bursa Indonesia, koleksi Kilmo antara lain adalah saham PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (TLKM) dan PT Indosat Tbk (ISAT).
Sedangkan Schmidt memilih saham PT Astra International Tbk (ASII) dan Turner menyukai saham PT Jasa Marga Tbk (JSMR).
Turner mengakui dengan harapan tinggi pada TIMP, risikonya juga besar. "Pada negara berkembang selalu ada sovereign risk. misalnya pemimpin baru yang memerintah dan negaranya menjadi kurang kapitalis. Perlambatan global juga berdampak besar pada negara berkembang,"
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News