Reporter: Asnil Bambani Amri | Editor: Asnil Amri
JAKARTA. Lembaga rating Fitch Ratings menyatakan, depresiasi rupiah akan berdampak pada beberapa perusahaan yang melakukan transaksi dengan mata uang asing atau memiliki utang dalam bentuk dolar Amerika Serikat (AS).
Adanya depresiasi rupiah sekitar 14% belakangan ini, akan menyebabkan ketidakcocokan yang signifikan terhadap operasional perusahaan. Meski begitu, Fitch dalam siaran persnya hari ini, Jumat (30/8) berpendapat, pelemahan nilai tukar rupiah tersebut tak secara langsung berpengaruh terhadap peringkat emiten bersangkutan.
Menurut Fitch, perusahaan yang paling terekspos terhadap depresiasi rupiah itu antara lain; PT Lippo Karawaci Tbk (LPKR), PT Alam Sutera Tbk (ASRI), PT Multipolar Tbk (MLPT) PT Kawasan Industri Jababeka Tbk (KIJA), dan PT Garuda Indonesia Tbk (GIIA).
“Hal ini dikarenakan ada mismatch antara penghasilan dalam mata uang rupiah dan utang dalam mata uang asing. Meskipun demikian, Fitch berpendapat perusahaan-perusahaan ini dapat mengatasi kerugian nilai tukar selama 12 bulan ke depan; sehingga Fitch tidak berekspektasi adanya pengaruh langsung terhadap peringkatnya,” jelas pernyataan Fitch.
Sebagaimana diketahui, LPKR dan ASRI, memiliki beban utang berdenominasi dalam dolar AS (USD). Keduanya telah lindung nilai (hedging) atas 80% utang, dan memiliki margin buffer yang cukup menyerap dampak jangka pendek dari kerugian nilai tukar tersebut.
Sementara itu, MLPT, memiliki utang dalam mata uang asing sekitar US$ 200 juta, dan perusahaan ini tidak memiliki lindung nilai terhadap eksposur USD. Namun, perusahaan memiliki simpanan hasil penerbitan obligasi sebesar US$ 200 juta dalam mata uang asing.
Fitch berharap, obligasi dolar AS tersebut memungkinkan perusahaan mengatur eksposur mata uang asingnya dalam jangka pendek. Meskipun demikian, depresiasi rupiah yang berkelanjutan bisa menjadi tekanan tekanan negatif terhadap peringkat.
Untuk GIIA, ada 20% dari kebutuhan mata uang asing Garuda tidak memiliki lindung nilai. Meskipun demikian, pasar GIIA di pasar full-service carrier (FSC) domestik, memungkinkan GIIA menaikkan tarif guna menyesuaikan biaya dan fluktuasi nilai tukar, terutama untuk segmen pasar korporat.
Sementara itu, KIJA memiliki utang dalam mata uang asing dengan porsi 84%. Emiten ini akan diuntungkan dari lindung nilai dari operasi pembangkit listriknya yang baru. Pembangkit itu memiliki perjanjian off-take jangka panjang dalam bentuk mata USD dengan Perusahaan Listrik Negara (PLN).
Fitch berekspektasi, arus kas berulang dari pembangkit listrik tersebut, akan cukup untuk membayar biaya bunga dalam jangka pendek sampai menengah, sehingga bisa membatasi dampak fluktuasi nilai tukar.
Sementara itu, Fitch berekspektasi untuk PT Japfa Comfeed Indonesia Tbk (JPFA) dan PT Fajar Surya Wisesa (FASW) bisa membebankan kenaikan biaya nilai tukar dengan cara menaikkan harga jual produknya ke konsumen. Saat ini, JPFA dan FASW bisa menjaga stok sekitar 2 bulan, dan telah menunjukkan tanda-tanda menyesuaikan harga jual.
Sementara itu, PT Berlina Tbk (BRNA) dinilai Fitch bisa menaikkan harga jual produknya karena beban operasional yang naik akibat nilai tukar. Dengan menaikkan harga, emiten ini bisa membayar utang dalam mata uang asing yang berkontribusi 40% dari total utang.
Sementara itu, perusahaan minyak sawit dimungkinkan untuk mendapat keuntungan depresiasi rupiah. Sebab, emiten perkebunan ini menjual produknya dalam mata uang dolar AS. Kondisi ini diperkirakan bisa mengimbangi efek dari harga jual minyak sawit mentah (CPO) yang rendah.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News