Reporter: Nur Qolbi | Editor: Wahyu T.Rahmawati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Rencana kenaikan tarif rata-rata cukai hasil tembakau (CHT) pada tahun 2022 sebesar 12% mendapat respons negatif dari pasar. Selasa (14/12), saham-saham produsen rokok yang masih diperdagangkan di Bursa Efek Indonesia kompak terkoreksi.
Harga saham PT HM Sampoerna Tbk (HMSP) turun 2,45% menjadi Rp 995 per saham, PT Gudang Garam Tbk (GGRM) terkoreksi 2,64% ke Rp 31.400, dan PT Wismilak Inti Makmur Tbk (WIIM) minus 1,65% menjadi Rp 478 per saham. Saham produsen tembakau iris PT Indonesian Tobacco Tbk (ITIC) juga turun 1,35% ke Rp 292 per saham.
Praktisi Pasar Modal Thendra Crisnanda menilai, kenaikan tarif cukai ini memang menjadi sentimen negatif bagi prospek pergerakan saham rokok. Pasalnya, penetapan tarif cukai di angka 12% masih tetap lebih tinggi dibandingkan dengan ekspektasi pelaku pasar dan industri yang berada di bawah level 10%.
Baca Juga: Rata-rata tarif cukai rokok tahun 2022 naik 12%, berikut daftar lengkapnya
Terlebih lagi, daya beli masyarakat baru berangsur pulih dan diperkirakan relatif masih rendah pada 2022. "Kombinasi dari peningkatan tarif cukai dan rendahnya daya beli masyarakat masih berpotensi mendorong penurunan laba bersih emiten rokok di 2022," kata Thendra saat dihubungi Kontan.co.id, Selasa (14/12).
Penurunan laba bersih tersebut utamanya disebabkan oleh meningkatnya beban cukai perusahaan yang tidak bisa diteruskan ke konsumen. Daya beli yang masih rendah membuat produsen tidak bisa agresif menaikkan harga jual rokok.
Analis Sucor Sekuritas Hendriko Gani menilai, tarif cukai yang naik rata-rata 12% sebenarnya masih tergolong wajar, mengingat kenaikan cukai rokok rata-rata berkisar 11%-12% per tahun. Akan tetapi, tarif cukai rokok yang terus meningkat tetap mendapat respons negatif dari pasar.
Baca Juga: CHT 2022 naik 12%, AMTI: Pemerintah tak beri kesempatan IHT untuk pulih
Hendriko memprediksi, volume penjualan rokok, terutama emiten rokok tier 1 akan cenderung stagnan pada tahun 2022. Pasalnya, kenaikan tarif cukai berpotensi membuat emiten rokok menaikkan harga jual rata-ratanya.
Di tengah penghasilan yang naik tak seberapa, hal ini dapat membuat daya beli masyarakat terhadap rokok menurun. Pada akhirnya, konsumen bisa saja beralih ke rokok yang lebih murah atau mengurangi konsumsi rokoknya.
Oleh sebab itu, menurut Hendriko, harga saham emiten rokok ke depannya juga akan dipengaruhi kebijakan pemerintah untuk menstabilkan inflasi. Apalagi, tarif listrik juga bakal naik pada tahun depan.
"Sehingga ada potensi masyarakat akan lebih mengutamakan hal-hal pokok tersebut terlebih dahulu dan beralih ke rokok yang lebih murah atau mengurangi konsumsi rokok," tutur Hendriko.
Baca Juga: Sri Mulyani naikkan tarif dan harga jual eceran rokok elektrik dan rokok linting
Sebagai informasi, kenaikan tarif cukai tertinggi dikenakan pada Sigaret Kretek Mesin (SKM), Sigaret Putih Mesin (SPM), lalu Sigaret Kretek Tangan (SKT). Secara rinci, cukai SKM golongan I naik sebesar 13,9%, SKM golongan IIA naik sebesar 12,1%, SKM golongan IIB mencapai 14,3%.
Kemudian, cukai SPM golongan I naik 13,9%, SPM golongan IIA naik 12,4%, dan SPM golongan IIB kenaikannya sebesar 14,4%. Lalu, cukai SKT golongan IA sebesar 3,5%, SKT golongan IB 4,5%, SKT golongan II 2,5%, dan SKT golongan III 4,5%.
Saat ini, Hendriko masih mempertahankan rekomendasi hold untuk emiten rokok. Ia memasang target harga untuk HMSP di Rp 1.070 per saham dan GGRM Rp 32.000 per saham.
Sementara itu, secara teknikal, Analis Panin Sekuritas William Hartanto melihat, sentimen kenaikan tarif cukai rokok memungkinkan tekanan jual lebih lanjut pada saham-saham rokok. Dia merekomendasikan wait and see untuk HSMP dengan support-resistance Rp 950-Rp 1.050 dan GGRM Rp 31.000 per saham-Rp 35.000 per saham.
Baca Juga: Ini alasan Sri Mulyani kerek tarif cukai rokok di tahun 2022
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News