Reporter: Wahyu Satriani | Editor: Wahyu T.Rahmawati
JAKARTA. Seperti di pasar saham, sulit menakar arah pergerakan pasar obligasi di tahun depan. Hanya saja, penurunan harga obligasi di tahun ini diperkirakan masih berlanjut hingga tahun depan.
Desmon Silitonga, analis Millenium Danatama Asset Management, menilai, tahun depan pasar obligasi terbagi dalam dua fase, yakni sebelum dan sesudah pemilihan presiden (pilpres). Masa transisi yang krusial bagi pasar surat utang negara (SUN).
Era sebelum pilpres atau semester I-2014, pasar obligasi negara masih diliputi ketidakpastian. Faktor utamanya adalah tekanan ekonomi domestik seperti melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat (AS), defisit neraca perdagangan serta tren suku bunga tinggi diperkirakan masih berlanjut. Selain itu, pengurangan stimulus keuangan AS atau tapering oleh Bank Sentral AS, The Fed, juga berpotensi mempengaruhi pasar obligasi di dalam negeri. "Jadi, kemungkinan harga surat utang negara (SUN) berfluktuasi," kata Desmon.
Namun, arah pasar obligasi diperkirakan akan berubah setelah pilpres. Kata Desmon, harga SUN berpotensi kembali reli setelah presiden baru terpilih karena didorong oleh masuknya aliran investasi asing. "Apalagi jika presiden terpilih sesuai dengan prediksi pasar sehingga menjadi berita positif dari pesta politik ini," tutur dia.
Kenaikan harga SUN juga ditopang oleh suku bunga acuan atau BI rate yang diprediksi lebih stabil ketimbang tahun ini. Nilai tukar rupiah juga diperkirakan akan menguat dengan berita positif di tahun politik.
Yield SUN dengan tenor 10 tahun diperkirakan akan turun ke kisaran 8,1%-8,3% tahun depan. Nominal tersebut lebih baik ketimbang saat ini yang berada di kisaran 8,4%. "Tentunya yield tersebut bisa turun lagi jika pemerintah dan Bank Indonesia (BI) menjaga stabilitas makro ekonomi dan sentimen positif dari pemilu," kata dia.
Analis Indonesia Bond Pricing Agency (IBPA) Fakhrul Aufa memperkirakan, tekanan harga obligasi berkurang setelah pengurangan stimulus AS dilakukan. Sebab, pasar telah melakukan antisipasi sebelum realisasi pemangkasan stimulus.
Fakhrul optimistis, harga obligasi berpeluang menguat tahun depan. Tiga faktor yang bakal mendorong penguatan harga di antaranya adalah tidak adanya kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) sehingga inflasi stabil, suku bunga terkendali, dan nilai tukar rupiah yang stabil. "Bila asumsi itu terpenuhi, maka harga obligasi berpeluang menguat," kata dia.
Fakhrul memperkirakan, pasokan obligasi bakal membanjir di tahun depan. Sebab, pemerintah berencana menerbitkan Rp 360 triliun obligasi dengan kebijakan front loading atau menerbitkan banyak surat utang di awal tahun. "Strategi ini untuk mengantisipasi ketidakpastian pasar akhir tahun depan," ujar Fakhrul.
Pasokan obligasi korporasi juga masih besar karena obligasi korporasi jatuh tempo mencapai Rp 40 triliun. Fakhrul memperkirakan, korporasi akan memilih kuartal I dan kuartal IV untuk penerbitan obligasi.
Herdi Ranu Wibowo, Head of Fixed Income BCA Sekuritas memprediksi, emisi obligasi korporasi bakal lebih sepi ketimbang tahun ini. "Prediksi saya, nilai penerbitannya di kisaran Rp 40 triliun hingga Rp 50 triliun," kata Herdi.
Sejumlah isu domestik seperti tren suku bunga tinggi memicu emiten menunda penerbitan obligasi lantaran investor akan meminta kupon tinggi. Menurut Herdi, saat ini merupakan masa transisi peralihan dari suku bunga rendah ke tinggi sehingga ada beberapa emiten yang tadinya berencana menerbitkan obligasi menjadi batal.
Perusahaan yang tidak membutuhkan pendanaan mendesak, diperkirakan bakal mencari pendanaan lain dengan pinjaman perbankan dibandingkan menerbitkan obligasi. "Namun kalau sudah menjadi target penerbitan obligasi, maka dengan berat hati perusahaan tersebut akan menerbitkan obligasi," ujar Herdi.
Herdi memperkirakan, rata-rata yield atau kupon obligasi korporasi berkisar 300 basis poin hingga 400 basis poin lebih tinggi ketimbang tahun ini. Tingginya kupon menjadi peluang bagi investor yang menginginkan keuntungan. Namun, investor harus lebih selektif memilih obligasi korporasi, seperti minimal berperingkat AA seiring faktor risiko yang naik.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News