Reporter: Melysa Anggreni | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Pasar kripto mengalami fluktuasi signifikan pekan lalu seiring dengan anjloknya harga Bitcoin (BTC) mendekati level terendah dalam empat bulan terakhir.
Faktor utama yang memicu tekanan jual ini adalah meningkatnya tensi perang dagang serta hasil pertemuan KTT kripto di Gedung Putih.
Pada awalnya, pasar menyambut optimistis rencana pembentukan Strategic Crypto Reserve (SCR), yang sempat mendorong harga Bitcoin naik hingga US$92.095.
Namun, kebijakan tarif baru yang diterapkan oleh Presiden AS Donald Trump terhadap Kanada, Meksiko, dan China membuat harga BTC terkoreksi di bawah US$89.000.
Baca Juga: Bitcoin Cs Rontok Lagi, Koreksi Berlanjut atau Ada Katalis Pemicu Rebound?
Menurut data Coinmarketcap.com, per Selasa (11/3), harga Bitcoin bergerak di level US$81.755, turun 2,22% dalam sepekan dan 0,07% dalam 24 jam terakhir.
Tekanan jual terlihat dari arus keluar dana Bitcoin yang mencapai US$ 756 juta.
Analisis Pasar: Tekanan Jual Masih Kuat
Fyqieh Fachrur, analis Tokocrypto menilai bahwa kebijakan pro-kripto yang digaungkan Trump belum sepenuhnya terealisasi.
Sebaliknya, dampak negatif dari tarif perdagangan dan kebijakan fiskal semakin nyata bagi pasar.
"Dalam jangka pendek, Bitcoin masih akan menghadapi tekanan jual dan volatilitas tinggi. Harga ke depan akan sangat bergantung pada bagaimana pasar merespons implementasi kebijakan tersebut," jelas Fyqieh kepada Kontan.co.id, Selasa (11/3).
Baca Juga: Bitcoin Masih di Bawah $80.000, Intip Cara Investasi Aset Kripto Resmi dan Aman
Ia memperkirakan harga Bitcoin masih bisa bergerak dalam rentang US$78.000 – US$90.000 dalam jangka pendek.
Namun, dalam jangka panjang, BTC berpotensi naik ke US$120.000 – US$140.000, didorong oleh efek halving dan meningkatnya permintaan institusional.
Saatnya Buy the Dip?
CEO Triv, Gabriel Ray, berpandangan bahwa koreksi tajam ini adalah momen tepat bagi investor untuk membeli Bitcoin, dengan strategi buy the dip di level US$ 78.000 sebagai titik support terkuat.
"Investor bisa menerapkan strategi dollar-cost averaging (DCA), dengan mengalokasikan 50% dana di level support ini dan menyimpan sisanya untuk berjaga-jaga jika harga turun lebih lanjut," ujarnya.
Gabriel menilai bahwa kebijakan pro-kripto dari Trump, termasuk rencana pembelian 1 juta BTC dalam lima tahun, bisa menjadi katalis positif bagi Bitcoin ke depan.
Baca Juga: Hanya 4% Orang di Dunia yang Punya Bitcoin! Mayoritas di AS
Sementara itu, Christopher, Co-founder CryptoWatch dan pengelola Channel Duit Pintar, menyebut bahwa risiko resesi AS menjadi faktor utama yang membuat pelaku pasar menjauhi aset berisiko, termasuk kripto.
"Harga Bitcoin bisa kembali tertopang jika investor ETF kembali masuk ke pasar dan ada sentimen positif seperti pemangkasan suku bunga The Fed," ungkapnya.
Ia juga memperkirakan level support Bitcoin dalam jangka pendek berada di US$75.000, sementara dalam jangka menengah berpotensi bergerak ke US$125.000.
Selanjutnya: Presiden Prabowo Teken PP No.11/2025, Cek Besaran THR ASN, TNI-Polri dan Pensiunan
Menarik Dibaca: Kerjasama Kemitraan SUSE dan ICS
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News