Reporter: Dea Chadiza Syafina | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Keputusan Bank Indonesia (BI) dalam menaikkan suku bunga acuan menjadi 6,5% turut berdampak pada sektor pembiayaan atau multifinance. Pasalnya, kenaikan BI rate turut mengerek kenaikan inflasi dan tingkat suku bunga. Imbas lanjutannya adalah kenaikan yield obligasi, termasuk obligasi yang diterbitkan oleh multifinance.
Ariawan, analis obligasi Sucorinvest Central Gani mengungkapkan, dengan kenaikan BI rate dan yield obligasi, tentu cost of fund korporasi dalam penerbitan obligasi akan meningkat.
Meski demikian, masih terdapat ruang bagi beberapa korporasi yang akan tertarik untuk menerbitkan obligasinya, yakni korporasi dengan rating yang bagus. Sebab, dengan rating yang bagus, maka kupon yang diberikan tidak akan terlalu tinggi.
"Kemungkinan masih di bawah suku bunga pinjaman di perbankan, sehingga penerbitan obligasi masih akan menjadi salah satu sumber pendanaan bagi korporasi khususnya multifinance," kata Ariawan.
Ariawan mengatakan risiko gagal bayar kecil terjadi, terlebih jika obligasi tersebut memiliki rating diatas A. Sampai saat ini, kata Ariawan, penerbitan obligasi multifinance sudah mencapai sekitar Rp 15 triliun dari total sekitar Rp 35 triliun obligasi korporasi yang sudah diterbitkan.
Menurutnya, obligasi merupakan salah satu pembiayaan utama perusahaan multifinance, selain pinjaman perbankan. Sebab, biasanya kebutuhan pendanaan perusahaan multifinance besar.
"Jadi untuk memperoleh dana yang besar, bisa melalui dua sumber berupa penerbitan obligasi dan juga pinjaman perbankan, meski hal ini rentan dengan kenaikan inflasi dan kenaikan tingkat suku bunga. Maka, pasti masih ada perusahaan multifinance yang akan menerbitkan obligasi, meski kondisi saat ini kurang kondusif," ujar Ariawan.
Sementara itu, Direktur Emco Asset Management Hans Kwee bilang pembiayaan dan pertumbuhan kredit kendaraan saat ini berkurang. Karena itu, menurutnya saat ini bukan saat yang tepat jika perusahaan pembiayaan menerbitkan obligasi atau surat utang.
"Sebab, cost of fund tinggi karena over shoot inflasi tinggi yang disebabkan kenaikan BBM (bahan bakar minyak) kemarin. Belum lagi nanti akan ada penyesuaian penurunan inflasi. Jadi baiknya tunggu terbitkan obligasi daripada nanti merugi," kata Hans
Menurut Hans, ada baiknya perusahaan pembiayaan terutama sektor kredit kendaraan dan properti, mencari pendanaan dari portfolio lain, selain obligasi. Investor juga disarankan untuk menunggu hingga keadaan menjadi lebih kondusif.
Meski begitu menurut Hans, kalaupun ada perusahaan multifinance yang menerbitkan obligasi, potensi gagal bayar, relatif kecil terjadi. Sebab, kata Hans, Indonesia diuntungkan dengan demografi, dimana rata-rata usia produktif merupakan jumlah penduduk tertinggi. Artinya kelas menengah Indonesia masih bisa meningkat, sehingga potensi gagal bayar relatif kecil.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News