kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.222.000 0,41%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

BI rate naik, investor jangan buru-buru meracik ulang portofolio


Rabu, 30 Mei 2018 / 20:41 WIB
BI rate naik, investor jangan buru-buru meracik ulang portofolio
ILUSTRASI. Reksadana


Reporter: Grace Olivia | Editor: Dupla Kartini

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Belum tuntas membenahi strategi investasi di tengah volatilitas pasar, pertimbangan investor dalam menyusun portofolio kini bertambah. Pasalnya, Rabu (30/5), Bank Indonesia memutuskan kembali mengerek suku bunga acuan atau BI 7 days repo rate (BI 7DRR) sebesar 25 basis points menjadi 4,75%.

Lalu, apa langkah yang tepat bagi investor di tengah tren kenaikan suku bunga acuan saat ini?

Stabilitas rupiah menjadi salah satu alasan Bank Indonesia sehingga menaikkan BI 7DRR di penghujung bulan ini. Pelemahan rupiah yang masih berlanjut dikhawatirkan akan semakin dalam menjelang kenaikan suku bunga acuan The Federal Reserve pada pertengahan Juni mendatang.

Head of Investment Avrist Asset Management Farash Farich menilai, sejatinya kenaikan BI 7DRR sebesar 50 bps pada tahun ini memang sudah dinantikan pelaku pasar. "Putusan ini dianggap positif karena BI dinilai proaktif mengantisipasi kenaikan Fed Fund Rate ke depan dan menunjukkan upaya lebih besar untuk menstabilkan rupiah," kata Farash, Rabu (30/5).

Apabila kenaikan suku bunga acuan berhasil meredam volatilitas rupiah, menurut Farash, akan menjadi angin segar bagi instrumen investasi seperti obligasi, saham, maupun instrumen turunannya seperti reksadana. Kondisi rupiah yang stabil berpotensi menarik kembali minat investor asing untuk masuk ke surat utang negara (SUN) maupun obligasi korporasi domestik.

Enry Danil, Head of Investment Syailendra Capital, menilai, kenaikan suku bunga acuan akan mendorong imbal hasil obligasi dalam negeri naik lebih tinggi dan mendorong inflow. Kendati demikian, menurut Enry, investor tetap perlu mewaspadai kuatnya sentimen eksternal yang berpotensi menahan perbaikan pasar obligasi dalam jangka pendek hingga menengah ini.

Selain ekspektasi kenaikan suku bunga The Fed dan potensi perang dagang Amerika Serikat (AS) dan China yang masih membayangi, kondisi pasar global juga tengah tertekan oleh krisis di Italia. "Sentimen ini cukup kuat dan besar kemungkinan kita akan terkena imbasnya," tutur Enry, Rabu (30/5).

Farash sepakat, sentimen eksternal dari AS masih dominan dan sejauh ini sudah sangat menekan pasar obligasi maupun saham dalam negeri. Dana asing masih berpotensi keluar dari emerging market menuju pasar aset safe haven. "Isu Italia akan menambah tekanan," imbuhnya.

Oleh karena itu, investor sebaiknya tidak terlalu buru-buru berubah haluan. Farash dan Enry sama-sama menyarankan investor mengambil sikap wait and see terlebih dahulu sebelum menyusun ulang portofolio investasi pasca kenaikan suku bunga acuan.

"Lihat dampaknya ke rupiah dulu. Kalau berhasil stabil, baru akan positif juga buat obligasi dan reksadana pendapatan tetap," kata Farash.

Meksi demikian, Enry optimistis, pasar modal Indonesia mampu menghadapi tekanan eksternal yang semakin kuat. "Kita sudah lebih matang secara fundamental, dari sisi inflasi yang terjaga dan cadangan devisa yang lebih baik. Asal rupiah stabil, inflow akan terjadi lagi," tuturnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Mastering Financial Analysis Training for First-Time Sales Supervisor/Manager 1-day Program

[X]
×