kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.541.000   21.000   1,38%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Berakhirnya Burden Sharing Bisa Berdampak Positif Untuk Obligasi Negara


Rabu, 23 Maret 2022 / 19:49 WIB
Berakhirnya Burden Sharing Bisa Berdampak Positif Untuk Obligasi Negara
ILUSTRASI. Bank Indonesia (BI) memastikan bahwa skema burden sharing akan berakhir di tahun ini.


Reporter: Hikma Dirgantara | Editor: Wahyu T.Rahmawati

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Bank Indonesia (BI) memastikan bahwa skema burden sharing akan berakhir di tahun ini. Gubernur BI Perry Warjiyo menegaskan bahwa keputusan tersebut sesuai dengan UU Nomor 2/2020. Dengan demikian, pada tahun depan, Bank Indonesia tidak akan lagi melakukan pembelian Surat Berharga Negara (SBN) di pasar primer.

Head of Fixed Income Sucorinvest Asset Management Dimas Yusuf menilai keputusan tersebut seharuskan akan ditanggapi positif oleh pelaku pasar. Menurut dia, pengumuman tersebut secara timeline sudah sesuai dengan panduan yang telah dibuat pemerintah sebelumnya. 

Artinya, pemerintah tidak akan lagi perlu dukungan besar dari BI di pasar obligasi. Selain itu, pemerintah sejauh ini sedang menikmati dari kenaikan harga komoditas yang membuat neraca perdagangan surplus tinggi. Dengan begitu, seharusnya pendapatan negara bisa sesuai ekspektasi, tanpa harus ada dukungan dari BI.

Baca Juga: Kekahwatiran Inflasi buat Pasar Obligasi Indonesia Lesu

Exit strategy pemerintah ini jauh lebih baik jika dibandingkan dengan apa yang dilakukan The Fed. Sejauh ini, The Fed justru belum punya guidance yang jelas, seharusnya (pengumuman berakhirnya burden sharing) bisa jadi nilai tambah untuk pasar yang sedang lesu,” kata Dimas kepada Kontan.co.id, Rabu (23/3).

Menurut Dimas, lesunya pasar obligasi negara atau surat utang negara (SUN) saat ini bermula dari konflik antara Rusia-Ukraina yang yang mendorong kenaikan harga komoditas dan terganggunya rantai pasokan, Hal ini memicu ekspektasi kenaikan inflasi global dan di saat bersamaan ekspektasi pertumbuhan ekonomi global juga turun. 

Adanya penyesuaian posisi dan kebijakan The Fed imbas dari kondisi tersebut membuat pelaku pasar lari ke US Treasury. Dengan yield US Treasury yang menguat, maka yield SBN pun mengalami tekanan. Minat investor di pasar perdana juga terpantau terus turun.

Baca Juga: Selisih Yield SUN dan US Treasury Menarik, Investor Asing Masih Cari Pilihan Lain

Dimas menilai, dalam jangka pendek, pasar obligasi memang cukup banyak tekanan. Namun, menurutnya, Indonesia masih berada dalam kondisi yang cukup baik, karena spread antara SBN dengan US Treasury masih terjaga di  atas 400 bps. Oleh karena itu, secara jangka panjang, penguatan yield SBN dinilai masih terbuka lebar.

Namun, menurutnya, kini yang terpenting adalah investor domestik seperti manajer investasi, asuransi, dan dana pensiun harus bisa meningkatkan porsi kepemilikan. Begitupun dengan investor asing yang diharapkan bisa segera masuk ke pasar SBN. 

“Hal ini seiring dengan adanya risiko kelompok perbankan yang tidak menambah atau bahkan mengurangi kepemilikan di SBN ketika penyaluran kredit mulai tumbuh,” kata Dimas.

Baca Juga: Terbitkan Global Bonds Senilai US$ 1,75 Miliar, Pemerintah Diminta Cermati Hal Ini

Dia meyakini, terdapat dua faktor penting yang dapat memengaruhi minat investor untuk mendorong penguatan yield SBN. Pertama, seperti apa stabilitas rupiah ke depan dibanding dengan indeks dolar AS maupun mata uang lainnya. Kedua, seperti apa hasil penerimaan negara, apakah ada potensi supply dikurang atau tidak di tahun ini.

Selain itu, ketidakpastian faktor eksternal juga sudah harus menemui titik terang. Mulai dari konflik Rusia-Ukraina, sikap dan kebijakan The Fed, serta angka inflasi yang mulai bisa dikendalikan oleh bank sentral global. Hal tersebut berpotensi membuat pasar kembali bergerak positif dan Indonesia jadi pilihan kembali para investor asing.

“Untuk yield SBN 10 tahun, masih berpotensi bergerak ke arah 6,2-6,5% untuk akhir tahun ini. Jika dari level yield saat ini, maka obligasi negara jadi mempunyai outlook yang positif,” tutup Dimas.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU

[X]
×