kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45919,51   10,20   1.12%
  • EMAS1.350.000 0,52%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Berakhir, musim untung cepat investasi properti


Kamis, 18 Juni 2015 / 10:05 WIB
Berakhir, musim untung cepat investasi properti


Reporter: Andri Indradie, Galvan Yudistira, Merlina M. Barbara, Tedy Gumilar | Editor: Tri Adi

Raut riang tergambar di wajah Ita Utami Aidid. Ia baru mendengar informasi mengenai rencana Bank Indonesia (BI) melonggarkan aturan mengenai batasan rasio pembiayaan perbankan atau loan to value (LTV) untuk kredit pemilikan rumah (KPR). Kalau tak ada aral melintang, BI akan merilis revisi aturan LTV tersebut bulan Juni ini.

Berbekal kabar gembira tersebut, ibu rumahtangga ini bersemangat mencari bank yang menawarkan tingkat bunga KPR lebih rendah. Maklum, perempuan yang tengah menemani suaminya melanjutkan studi S-2 di Malaysia ini sedang mencari rumah tipe 36 atau tipe 45 yang harganya di bawah Rp 300 juta. Rumah tersebut akan ditinggali ibu satu anak ini bersama keluarganya.

Rencana bank sentral melonggarkan batasan LTV kredit properti memang pantas disambut hangat masyarakat. Maklum, relaksasi LTV itu otomatis membuat besaran uang muka KPR maupun kredit pemilikan apartemen (KPA) bakal mengecil. Alhasil, beban masyarakat untuk membeli hunian melalui skema KPR atau KPA bakal lebih ringan.

Secara umum, BI akan menaikkan batasan rasio LTV KPR dan KPA di bank konvensional sebesar 10% dari aturan yang berlaku saat ini. Sedangkan untuk bank syariah, rasio kenaikan finance to value (FTV) sebesar 5%. Jadi, LTV KPR rumah pertama dengan tipe di atas 70 meter persegi (m2)  akan naik dari 70% saat ini menjadi 80%. Sedangkan LTV KPR rumah kedua dan rumah ketiga juga dinaikkan masing-masing dari 60% menjadi 70% dan 50% menjadi sebesar 60%.

Tentu rencana BI tersebut tidak cuma membahagiakan hati golongan masyarakat yang belum memiliki rumah. Para investor atau orang yang gemar membiakkan dananya di sektor properti semestinya turut bertepuk tangan. Maklum, mereka bakal lebih mudah lagi beternak properti dengan mengandalkan KPR atau KPA.

Namun, pemburu cuan di sektor ini jangan keburu senang dulu. Pasalnya, di sisi lain, pemerintah semakin gencar membidik pajak dari sektor properti untuk memenuhi target kenaikan penerimaan pajak. Dampaknya, potensi keuntungan dari investasi properti bisa menciut.

Peraturan terbaru soal perpajakan adalah revisi kategori properti sangat mewah yang dikenakan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 sebesar 5%. Berdasar aturan sebelumnya, kategori properti sangat mewah adalah yang harganya di atas Rp 10 miliar dan luas bangunan lebih dari 500 meter persegi (m2) untuk rumah tapak. Sementara untuk apartemen, kondominium, dan sejenisnya di atas Rp 10 miliar dan atau luas bangunan lebih dari 400 m2.

Lewat Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 90 tahun 2015 yang mulai berlaku bulan Juni ini, kategori rumah sangat mewah turun menjadi yang harga jual atau harga pengalihannya di atas Rp 5 miliar atau luas bangunan lebih dari 400 m2. Sedangkan untuk hunian jangkung, yang harga jual atau pengalihannya di atas Rp 5 miliar atau luas bangunan lebih dari 150 m2.

Nah, dalam peraturan Dirjen Pajak Nomor 19 tahun 2015 yang menjadi turunan PMK tersebut, harga jual Rp 5 miliar ke atas itu sudah termasuk Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM). Tarif masing-masing pajak ini adalah 10% dan 20%. Artinya, properti yang harga jual sebelum PPN dan PPnBM-nya di atas Rp 3,85 miliar sudah digolongkan sebagai barang sangat mewah.

Ujung-ujungnya, kewajiban pajak yang musti dibayar semakin besar. Jika ditambah dengan hitungan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) sebesar 5%, maka total pajak yang harus dibayar sebesar 40% dari harga jual.

Misalnya, jika Anda membeli rumah seharga Rp 3,85 miliar atau luas bangunannya di atas 400 m2, maka paling tidak Anda harus menyediakan dana Rp 1,54 miliar untuk membayar beragam pungutan pajak. Biaya ini belum termasuk ongkos lain-lain saat Anda membeli rumah, seperti biaya administrasi, bea balik nama, dan notaris.

Yang sedikit melegakan adalah, PPh Pasal 22 ini di akhir tahun bisa menjadi pengurang pajak penghasilan atau bisa diklaim sebagai restitusi. “Karyawan yang sudah dipotong PPh Pasal 21 dan tidak punya penghasilan lain, juga bisa mengajukan surat keterangan bebas ke kantor pajak,” kata Tax Partner dari ATS Konsultama, Agus Susanto Lihin. Masalahnya, proses pengajuan restitusi itu rumit dan makan waktu panjang.

Para spekulan properti juga bakal terpukul oleh pungutan pajak. Selama ini, praktik jual-beli properti yang baru diikat dengan Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) jamak terjadi. Pembeli cukup menyediakan uang muka dan memiliki tempo beberapa bulan hingga setahun untuk melunasi transaksi pembelian properti tersebut. Nah, pada masa itu, ia bisa menjual properti kepada orang lain.

Yang membuat praktik ini tumbuh subur adalah strategi marketing developer. Pengembang menaikkan harga properti secara bertahap mulai dari penjualan perdana, groundbreaking, hingga bangunan jadi. Lalu, spekulan menunggangi praktik itu untuk meraup cuan dari selisih kenaikan harga. “Developer menaikkan harganya per tahap bisa di atas 10%,” ujar Ali.

Nah, praktik goreng-menggoreng harga ini rupanya sudah terendus aparat pajak. Medio Agustus tahun lalu, Dirjen Pajak telah merilis surat edaran kepada seluruh aparat pajak agar memungut pajak penghasilan atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan atau bangunan, atawa PPh Pasal 17.

Berdasarkan aturan, penjualan properti yang berstatus PPJB akan dikenai PPh Pasal 17 yang bersifat progresif. Dengan begitu, potensi keuntungan yang didapat para spekulan pun bakal kian mengecil. “Selama ini transaksi berdasarkan PPJB ini sulit dicek dan dikontrol oleh kantor pajak,” kata Agus.


Perlu mengubah horizon investasi
Konsekuensinya, bagi investor yang masih ingin membiakkan duitnya di sektor properti, harus mulai mengubah strategi investasi. Mereka tak bisa lagi berharap menuai untung dalam waktu singkat. Jika aset properti langsung dijual dalam tempo satu tahun atau dua tahun, bisa jadi bukan untung yang diraih. Sebaliknya, keuntungan yang didapat dari selisih harga beli dan jual tidak bisa menutupi biaya pungutan.

Nah, keuntungan besar baru bisa dipetik kalau aset properti itu dipendam lebih lama. “Properti menarik saat investor memperlakukannya sebagai aset investasi jangka panjang,” kata pesohor sekaligus investor properti, Adrian Maulana.

Sebagai contoh, investasi properti sangat mewah seharga Rp 3,85 miliar. Kewajiban pajak yang harus dibayar investor mencapai 40% dari harga jual atau setara dengan Rp 1,54 miliar. Artinya, jika mau untung, investor musti menjual properti tersebut dengan harga di atas Rp 5,39 miliar.

Nah, untuk mencapai pertumbuhan 40% dari harga jual agar bisa menutupi pengeluaran pajak saja, dibutuhkan waktu investasi paling tidak cepat selama dua tahun. Sebab, berdasar pengalaman Adrian, pertumbuhan harga jual properti  rata-rata 20% per tahun.

Kalau mau keuntungan yang lebih maksimal, tenor investasi pun harus lebih panjang lagi. “Pertumbuhan harga jualnya tergantung lokasi. Saya beli apartemen 8 tahun yang lalu. Alhamdulillah sekarang kenaikan harganya sudah 2,5 kali lipat,” kata pemilik unit apartemen di Jakarta ini.

Untuk properti yang tergolong barang mewah, periode investasinya juga tak jauh berbeda. Berdasarkan aturan yang berlaku saat ini, properti mewah adalah yang memiliki luas bangunan di atas 350 m2. Ini berlaku untuk jenis rumah tapak dan town house non-strata title. Sementara untuk hunian jangkung strata title, luas bangunannya di atas 150 m2.

Adapun pajak yang wajib dibayar mencapai total 35% dari harga jual. Rinciannya, PPnBM sebesar 20%, PPN 10%, dan BPHTB 5%.

Kewajiban pajak yang musti dibayar pembeli memang lebih kecil ketimbang properti sangat mewah. Namun, pemerintah sedang menggodok revisi aturan yang akan memperluas batasan penjualan properti yang terkena PPNBM 20%.

Wacana yang berkembang saat ini, selain berdasarkan luas bangunan, properti mewah akan diukur berdasar harga jual. Jika menengok penerapan aturan pajak atas properti sangat mewah yang spesifikasinya diturunkan, maka mau tidak mau, spesifikasi properti mewah juga menyesuaikan dan ikut diturunkan. “Properti mewah bisa jadi harga jualnya cuma Rp 2 miliar–Rp 2,5 miliar,” kata pengamat properti, Ali Tranghanda.

Ujung-ujungnya, investasi properti mewah, apalagi yang sangat mewah, kian tidak menarik. Padahal, pasar properti di dua kelas ini tengah lesu gara-gara pertumbuhan harga jualnya mencapai 50% hingga di atas 60% per tahun.

Tak heran, belakangan ini, investor properti mengalihkan target investasinya. Mengacu survei Indonesia Property Watch, lembaga yang dipimpin Ali, pasar properti paling gemuk saat ini di kelas harga Rp 500 juta sampai Rp 1 miliar. Kenaikan harga jual di kelas ini sekitar 20% per tahun. Properti non-subsidi yang tidak termasuk golongan mewah dan sangat mewah ini cuma dikenai PPN 10% dan BPHTB 5%.

Daya tarik yang lebih kuat muncul di pasar seken. Pasalnya, penjual hanya dikenai PPh final 5% dari harga jual. Di sisi lain, investor properti Risza Bambang menyebut, kenaikan harga jual properti secondary rata-rata 20%. “Selain itu, investor bisa bangun town house sendiri dengan ukuran yang lebih kecil untuk menyiasati aturan pajak,” katanya.

Nah, kini, apakah Anda masih tertarik membiakkan duit dengan membeli rumah atau hunian jangkung?    


Laporan Utama
Mingguan Kontan No. 38-XIX, 2015

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Success in B2B Selling Omzet Meningkat dengan Digital Marketing #BisnisJangkaPanjang, #TanpaCoding, #PraktekLangsung

[X]
×