Reporter: Akhmad Suryahadi | Editor: Tendi Mahadi
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Ketegangan geopolitik yang terjadi di Timur Tengah menjadi salah satu faktor menekan pasar modal Indonesia. Sentimen ini turun membuat Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terus merosot.
Pasca serangan balik Iran ke Israel, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS juga terpuruk hingga menembus Rp 16.170 per dolar AS pada perdagangan perdana setelah libur panjang Lebaran.
Direktur Eksekutif Segara Research Institute Piter Abdullah Redjalam mengatakan, pelemahan Rupiah mengikuti tren pelemahan mata uang negara-negara berkembang di tengah ketidakpastian global yang mencapai puncak tertingginya.
Saham-saham berfundamental bagus pun langsung anjlok akibat meningkatnya ketidakpastian. Padahal, saham-saham ini sempat merangkak naik sejak akhir tahun 2023 dan terbang tinggi selama Februari dan Maret 2024. Begitu pula yang terjadi pada saham-saham non-bank berkapitalisasi pasar besar.
Baca Juga: Ikuti Jejak BUMI, Grup Bakrie akan Gelar Kuasi Reorganisasi pada BNBR
“Faktor Timur Tengah telah membuat saham-saham berguguran, tidak hanya saham medioker tetapi juga saham-saham berkapitalisasi besar penopang indeks lintas sektor seperti perbankan, energi, manufaktur dan telekomunikasi,” kata Piter dalam siaran pers, Selasa (14/5).
Saham PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) misalnya, sebelum libur perayaan lebaran, BBCA sempat menembus level Rp 10.325 per saham. Namun, saham BBCA jatuh ke harga Rp 9.475 pasca serangan Iran ke Israel (16/4), dan mencapai harga terendah Rp 9.350 pada 22 April 2024.
Hal yang sama terjadi pada saham besar lainnya yakni PT Bank Mandiri Tbk (BMRI), PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI), dan PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI).
Padahal, fundamental emiten-emiten tersebut selama triwulan I-2024 cukup memuaskan. Misalkan saja BBCA mencatatkan laba Rp 12,9 triliun selama triwulan I-2024 atau naik 11,7% secara year-on-year (YoY).
Pun demikian dengan laba BMRI yang naik 1,13% YoY menjadi Rp 12,7 triliun, laba BBRI naik 2,45% menjadi Rp 15,88 triliun, dan laba BBNI yang naik 2% menjadi Rp 5,33 triliun.
“Artinya penurunan harga saham sama sekali tidak berhubungan dengan kinerja keuangan emiten,” jelas Piter.
Sama dengan harga saham emiten non-perbankan lainnya, seperti harga saham PT Telkom Indonesia Tbk (TLKM) yang juga mengalami tekanan. Harga saham TLKM terus tertekan, dimana dalam tiga bulan terakhir, harga saham emiten pelat merah ini terkikis 12,6%.
Sementara kalau dihitung sejak awal tahun atau year-to-date (YtD), harga saham TLKM turun 12,1%.
Kembali lagi, jika dilihat dari fundamental, kinerja keuangan TLKM menurut Piter Abdullah cukup baik. Pada triwulan I-2024, TLKM mencatatkan pendapatan sebesar Rp 37,4 triliun atau tumbuh 3,7% secara YoY. Sementara EBITDA Telkom tumbuh sebesar 2,2% YoY menjadi Rp 19,4 triliun dengan laba bersih mencapai Rp 6,1 triliun.
Baca Juga: Saham Bank Besar BBRI, BMRI, dan BBNI Sudah Jenuh Jual, Saatnya Buy?
Piter melihat kinerja TLKM didukung oleh kinerja anak-anak perusahaannya. Pada kuartal I- 2024, Telkomsel masih menjadi kontributor terbesar pendapatan TLKM.
Menurut Piter, meskipun sama-sama mampu menjaga tingkat keuntungan, kinerja TLKM di industri telekomunikasi selayaknya diapresiasi bila dibandingkan dengan BBCA ataupun bank-bank pelat merah. Menurut Piter, perbankan masih diuntungkan oleh struktur pasar yang sangat kondusif, seperti net interest margin (NIM) yang tinggi.
Di sisi lain, kemampuan TLKM menjaga pertumbuhan pendapatan dan juga tingkat keuntungan terjadi di kala emiten telekomunikasi ini sedang melakukan strategi transformasi di tengah gelombang disrupsi industri telekomunikasi.
“Proses transformasi di Telkom dilakukan saat perusahaan masih sehat dan berlangsung cukup mulus,” pungkas Piter.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News