Reporter: Maizal Walfajri | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Perbankan terus memantau perkembangan kredit yang telah direstrukturisasi terdampak Covid-19. PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk mencatatkan outstanding kredit restrukturisasi tercatat sebesar Rp 159,78 triliun per November 2021.
Angka ini telah menurun sebesar Rp 83,33 triliun dibandingkan dengan akumulasi restrukturisasi BRI sebesar Rp 243,08 triliun.
Sekretaris Perusahaan Bank BRI, Aestika Oryza Gunarto, menyatakan loan at risk (LAR) bank tercatat 24,29% dari outstanding per November 2021. Ia mengklaim dari LAR tersebut yang merupakan NPL relatif kecil, di kisaran 3%.
"Guna menjaga kredit restrukturisasi agar kualitas kredit tidak menurun dan tidak menjadi NPL, BRI secara intens melakukan monitoring, baik secara onsite maupun offsite. Juga melakukan stress test secara berkala serta menerapkan early warning sign apabila terjadi pemburukan," ujarnya kepada Kontan.co.id pada pekan lalu.
Baca Juga: Kurangi Backlog Perumahan, BTN Gandeng Asosiasi Santri Developer NU
Ia memproyeksikan tren restrukturisasi di 2022 ini akan terus melandai. Optimisme ini seiring dengan telah tampaknya pemulihan ekonomi nasional.
Adapun Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mulai ambil ancang-ancam menarik kebijakan restrukturisasi kredit terdampak Covid-19. Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Heru Kristiyana memastikan tarik rem ini akan dilakukan dengan pertimbangan yang matang.
Sebab, regulator terus melakukan serangkaian stress test secara berkala mengenai dampak Covid-19 terhadap perbankan terutama bagi kredit. Normalisasi kebijakan ini juga akan dilakukan secara bertahap.
“Sekarang ini, bagaimana kita menyiapkan perbankan punya strategi ketika OJK mulai menormalisasi kebijakan restrukturisasi. Ini harus benar-benar kita kawal, jangan sampai ada cliff effect saat aturan dicabut industri tidak siap,” ujar Heru kepada Kontan.co.id pada Jumat (7/1).
Baca Juga: Simak Rekomendasi Saham yang Jadi Leader IHSG
Jauh-jauh hari, OJK telah meminta perbankan meningkatkan pencadangan terhadap kredit yang direstrukturisasi. Sebab, meski secara aturan berstatus lancar, kredit tersebut macet karena dampak dari Covid-19.
Hal ini tertuang dalam Peraturan OJK (POJK) nomor 48 tahun 2020 tentang Perubahan Atas POJK Stimulus Covid-19. Melalui belied ini, Heru melihat pelaku industri perbankan terus meningkatkan pencadangannya guna memitigasi risiko.
“Saya lihat, arahnya sudah normalisasi kebijakan. Sudah harus ke sana. Kalau telat maka akan bertolak belakang dengan kebijakan sektor riil. Maka harus ada, walau sedikit demi sedikit, sehingga mereka kuat dan siap ketika kebijakan restrukturisasi dicabut,” papar Heru.
Kini, tren restrukturisasi kredit semakin menurun setelah sempat mencapai rekor sejarah restrukturisasi sekitar Rp 1.000 triliun. Per November 2021, perbankan telah merestrukturisasi 4,22 debitur senilai Rp 693,63 triliun. Relaksasi itu diberikan kepada 3,07 juta debitur UMKM senilai Rp 264,88 triliun.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News