Reporter: Tane Hadiyantono | Editor: Dupla Kartini
JAKARTA. Nilai penerbitan surat utang korporasi sepanjang tahun ini bakal lebih tinggi ketimbang tahun lalu. Salah satu pendorongnya: obligasi yang jatuh tempo di 2017 mencapai Rp 87,2 triliun.
Tingkat suku bunga yang landai serta inflasi dan nilai tukar rupiah yang stabil turut mendongkrak pertumbuhan emisi obligasi tahun ini. "Kami cukup optimistis penerbitan obligasi tahun ini bisa melebihi tahun lalu," kata Salyadi Saputra, Presiden Direktur PT Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo), Senin (24/7).
Meski hingga Juni lalu realisasi penerbitan obligasi korporasi baru sebesar Rp 57,3 triliun, Pefindo tetap yakin nilai emisi surat utang swasta di akhir Desember nanti bisa mencapai Rp 119 triliun. Angka ini lebih tinggi 4,38% dibanding nilai penerbitan obligasi tahun lalu Rp 114,1 triliun.
Sebab, di semester II 2017, paling tidak sudah ada 25 perusahaan yang mengantre di Pefindo untuk meminta peringkat agar bisa segera menawarkan obligasi. Perkiraan emisi obligasi dari 25 perusahaan itu total mencapai Rp 37,75 triliun.
Sektor usaha yang paling besar nilai penerbitan obligasinya adalah pembangkit tenaga listrik, mencapai Rp 10 triliun. Penerbitnya tak lain ialah PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) yang memang tengah melakukan sekuritisasi aset dengan skema Efek Beragun Aset (EBA).
Rencananya, perusahaan setrum pelat merah itu menggunakan dana hasil penjualan obligasi untuk membangun Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Suralaya Unit IX dan X serta dua penghasil listrik lain. Sebelumnya, PLN memang menargetkan bisa mulai menjajakan surat utang pada Agustus tahun ini.
Tapi, sektor keuangan tetap yang paling banyak dalam penerbitan obligasi sepanjang tahun ini. Selama semester pertama saja, nilai penerbitan surat utang sektor itu mencapai 70,3% dari total jumlah obligasi korporasi sebesar Rp 33,03 triliun. Di paruh kedua, ada lima perusahaan sektor keuangan yang sedang mengantre untuk mengantongi peringkat dari Pefindo.
Sementara sektor non-keuangan sejauh ini hanya menerbitkan obligasi senilai Rp 13,98 triliun. "Ini menunjukkan, bahwa peran pasar modal sebagai intermediasi belum terlalu signifikan sebagai alternatif pembiayaan untuk sektor riil," ujar Salyadi.
Ia juga menyayangkan minimnya penerbitan obligasi korporasi dengan tenor panjang. Padahal, obligasi tenor panjang bisa membantu pembiayaan sejumlah sektor, terutama infrastruktur yang membutuhkan sumber dana minimal hingga 10 tahun.
Salyadi membandingkan, sekitar 75,9% obligasi korporasi di Malaysia merupakan terbitan perusahaan yang bergerak di sektor riil. Mayoritas tenor pendanaan obligasi korporasi di negeri jiran itu ada di kisaran 5 tahun10 tahun, dengan kontribusi 36%.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News