Reporter: Syamsul Ashar | Editor: Syamsul Azhar
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kebijakan Brussels dianggap sebagai langkah proteksionisme oleh kedua produsen minyak sawit terbesar di dunia, Indonesia dan Malaysia. Kini kedua negara giat mencari pasar lain untuk menampung ekspor minyak sawitnya.
Upaya tersebut membuahkan kesepakatan bisnis senilai USD 3,9 miliar antara Malaysia dan China yang ditandatangani bulan ini dalam KTT Expo China-ASEAN.
Termasuk di antaranya adalah perjanjian antara perusahaan pelat merah, Sime Darby Oils International dari Malaysia dan GuangXi Beibu Gulf International Port Group.
Kedua perusahaan berniat membangun pusat distribusi minyak sawit di kota Qinzhou, China, menurut laporan media Jepang, Nikkei Asia.
Perdana Menteri Malaysia, Anwar Ibrahim, mengatakan pihaknya ingin menggandakan nilai ekspor minyak sawit ke China menjadi 500.000 ton per tahun dalam beberapa tahun ke depan.
"Ini adalah kali pertama China meminta penambahan besar. Biasanya, permintaan bergantung pada harga dan pertimbangan lain, tapi kali ini perjanjiannya menjamin kuota impor menuju China,” kata PM Malaysia itu selama Expo.
Proteksionisme Uni Eropa
"Jika niat UE merangsang perbaikan tata kelola sawit dengan membuat larangan bahan bakar nabati, upaya tersebut bisa mudah dijinakkan oleh China, kata Bridget Welsh dari lembaga penelitian Asia Research Institute di University of Nottingham, Inggris.
Alhasil, negara-negara Asia Tenggara tidak hanya semakin bergantung kepada China, tapi juga menutup akses pasar Uni Eropa serta menciptakan kondisi yang justru memudahkan ekspor menuju China.
"Selain itu, reputasi Eropa akan ternoda oleh kebijakan yang didorong oleh keinginan melindungi produksi minyak nabatinya sendiri, di atas kerugian produsen Asia Tenggara,” tutur Welsh lagi, merujuk pada tuduhan betapa regulasi Uni Eropa menguntungkan petani rapa dan bunga matahari di Eropa.
"Karena banyak perkebunan sawit di Indonesia yang dimiliki pengusaha Malaysia, pergeseran di Malaysia menuju pasar China juga akan berdampak di Indonesia", kata Kevin O'Rourke, analis di lembaga konsultan, Reformasi Information Services.
Produksi minyak sawit di Malaysia turun 2,3 persen pada paruh pertama 2023, menurut laporan pemerintah. Keluhan serupa disuarakan perusahaan negara, FGV Holdings, yang mengaku kehilangan separuh pemasukannya pada periode yang sama.
Frederick Kliem, peneliti dan dosen di Rajaratnam School of International Studies di Singapura, meyakini, Uni Eropa tidak akan dipengaruhi oleh prospek adanya pengalihan komoditas sawit ke China.
Negosiasi alot lintas benua
Sejauh ini, Uni Eropa sudah mengirimkan berbagai delegasi ke Malaysia dan Indonesia untuk meredakan kisruh seputar larangan bahan bakar sawit. Brussels berdalih, kebijakan itu adalah upaya meningkatkan standar lingkungan di seluruh dunia, sebagai bagian dari kebijakan luar negeri Uni Eropa.
Uni Eropa bersikeras tidak menjatuhkan larangan umum dan mencatatkan nilai impor sawit sebesar empat juta ton antara Juli 2022 hingga Juni 2023. Jumlah tersebut lebih rendah seperlima dari angka impor tahun lalu.
"Uni Eropa masih merupakan konsumen besar minyak sawit di dunia,” kata Bernd Lange, Direktur Komite Perdagangan Internasional di Parlemen Eropa. "Menimbang pasar Uni Eropa yang besar dan kelas menengahnya yang aktif, saya memperkirakan pasar ini akan tetap menarik bagi eksportir.”
"Baik Uni Eropa dan Malaysia saling berbagi visi yang sama. Dialog kami dengan perwakilan Malaysia dan Indonesia sudah sangat mendalam.”
"Kini, tugas kami adalah mensinergikan strategi dan secara bersama menanggulangi tantangan dan membuka peluang bagi kolaborasi. Kita harus menjalaninya bersama-sama dengan negara produsen,” tutur Lange.
Artikel ini telah tayang di DW.com dengan judul " Bagaimana Prakarsa Sawit Uni Eropa Dijinakkan China", Klik untuk baca: https://www.dw.com/id/bagaimana-prakarsa-sawit-uni-eropa-dijinakkan-cina/a-66927945?maca=ind-VAS_Ind_Kontan_News-35437-xml-media
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News