Reporter: Anastasia Lilin Y, Herry Prasetyo, Kornelis Pandu Wicaksono | Editor: Imanuel Alexander
Jakarta. Coba acungkan jari jika Anda masih mendapati si kecil di rumah bermain congklak? Itu lo, permainan yang memanfaatkan biji congklak dan papan congklak. Biji congklak umumnya berupa cangkang kerang kecil. Namun kalau tidak ada, kadang diganti dengan biji buah-buahan. Cara bermain dengan memindahkan biji congklak ke 16 ceruk yang terdapat di papan congklak.
Saking populernya permainan ini, hadir beberapa sebutan. Di Jawa, anak-anak biasa menyebut dakon sedangkan di Lampung, permainan ini lebih dikenal dengan nama dentuman lamban. Di Sulawesi malah ada beberapa nama, seperti mokaotan, maggaleceng, aggalacang, dan nogarata.
Congklak mungkin hanya salah satu nama permainan tradisional yang sudah ditinggalkan. Boro-boro mau bermain, mencari mainan ini saja, tidak mudah. Sebab lebih gampang mendapati mainan anak berlabel Made in China atau Made in Taiwan, sih.
Memang, catatan Kementerian Perindustrian (Kemperin) masih menyuguhkan angka surplus untuk kinerja ekspor mainan lokal terhadap impor. Volume ekspor mainan sepanjang 2012 tercatat 31,72 juta kg. Nilainya US$ 326,48 juta, atau setara Rp 3,8 triliun. Sementara volume impor mainan anak, meski lebih besar dari sisi volume, tapi lebih mini pada sisi nilai. Volume impor mainan mencapai 41,82 juta kilogram (kg), dan nilainya US$ 138,11 juta, setara Rp 1,6 triliun.
Data produksi mainan lokal yang beredar di pasar dalam negeri juga masih tumbuh. Pada tahun yang sama, volume produksi industri mainan lokal 51,17 juta pieces. Nilai produksi dalam rupiah Rp 2,9 triliun atau masih tumbuh tipis 1,81% dibanding dengan 2011.
Namun tunggu dulu. Meski produksi mainan untuk kebutuhan dalam negeri belum berhenti dan nilai ekspor lebih besar daripada impor, produk mainan lokal tidak menjadi raja di negeri sendiri.
Ketua Asosiasi Penggiat Mainan Edukatif dan Tradisional Indonesia (APMETI), Danang Sasongko, bilang, perbandingan antara mainan bikinan lokal dan mainan impor di pasaran adalah 1:3.
Tengoklah, produsen mainan yang tergabung dalam APMETI saja. Saat ini, ada 40–60 anggota. Omzet dari masing-masing perusahaan per tahun Rp 600 juta. Atau, total omzet seluruh anggota Rp 24 miliar–Rp 36 miliar setahun.
Sudarman Wijaya, Wakil Ketua Bidang Pemasaran Asosiasi Pengusaha Mainan Indonesia (APMI), malah berpendapat lebih ekstrem. Menurut dia, nilai penjualan mainan, termasuk untuk kebutuhan media belajar taman kanak-kanak (TK) dan pendidikan anak usia dini (PAUD), berkisar Rp 1,5 triliun sampai Rp 2 triliun per bulan. Dari jumlah itu, sekitar 70%– 80% merupakan mainan impor.
Ada tiga kendala yang dihadapi para produsen lokal khususnya mereka yang kelas usahanya kecil menengah alias UKM. Pertama, teknologi yang minim menyebabkan produk yang dihasilkan lemah dari sisi desain dan kemasan.
Kedua, kapasitas produksi. Untuk produk-produk tertentu yang masih lebih banyak mengandalkan tenaga manusia, menghadapi kendala kemampuan menyediakan stok. Ketiga, permodalan.
Selain kendala di kalangan produsen lokal, produk mainan impor yang notabene banyak berasal dari China memiliki daya tarik, berupa harga yang lebih terjangkau. Meski, Danang bilang, APMETI pernah meriset 80% mainan China yang beredar mengandung racun.
Sekarang mari kita coba bikin asumsi kasar tentang perbandingan harga produk, berangkat dari volume dan nilai antara ekspor dan impor besutan Kemperin 2012 tadi. Hasilnya, harga rata-rata mainan yang diekspor adalah Rp 119.798,23 per kg. Sementara, harga rata-rata mainan impor cuma Rp 38.259,21 per kg. Atau, harga mainan lokal kurang lebih tiga kali lebih mahal daripada harga mainan impor.
Biaya sertifikasi mahal
Berbagai kendala dan dominasi mainan impor tadi tak ayal membuat para produsen mainan lokal menjerit. Namun niatan mulia pemerintah yang mengaku menerapkan aturan wajib standar nasional Indonesia (SNI) untuk melindungi para pemain lokal ternyata juga menuai kritik dan kekhawatiran dari para pelaku usaha di dalam negeri. Penyebabnya, biaya untuk mengantongi label SNI tidak murah.
Secara sederhana, proses untuk mendapatkan label SNI diawali dengan pengujian oleh laboratorium. Setelah lolos tahap itu, baru lembaga sertifi kasi produk (LSPro) mengeluarkan sertifi kat SNI dengan masa berlaku enam bulan.
Tujuh laboratorium uji yang ditunjuk meliputi PT Sucofi ndo, Balai Pengujian Mutu Barang Kementerian Perdagangan (BPMB Kemdag), PT SGS Indonesia, PT Intertek Utama Services, Balai Besar Tekstil Kementerian Perindustrian (BBT Kemperin). Ada pula Balai Besar Bahan dan Barang (B4T) Kemperin serta Balai Riset dan Standardisasi Industri Surabaya Kemperin sebagai penguji.
Sementara delapan lembaga LSPro terdiri dari Chempack, PT Sucofi ndo, PPMB Kemdag, Pustan Kemperin dan TEXPA Kemperin. Ada juga PT TUV Nord Indonesia, Baristand Industri Medan Kemperin, dan TOEGOE Kemperin.
Ramon Bangun, Direktur Industri Tekstil dan Aneka Kemperin menilai, biaya mendapatkan label SNI tidak akan membebani pelaku usaha. “Biayanya tidak signifi kan, hanya mengurangi margin sekitar 1%, tidak akan membikin rugi, kok,” kata Ramon.
Sebagai salah satu contoh saja, Sucofi ndo yang kebetulan memiliki dua fungsi sekaligus, yakni sebagai laboratorium uji dan sebagai LSPro mematok biaya mulai dari Rp 10 juta. Mahal dan murah harga tergantung dari material pembentuk mainan hingga cara kerja produksi. Mangajana Tambunan, Kepala Bagian Sertifi kasi Produk Sucofi ndo, menuturkan, harga tersebuttidak bisa ditawar.
Namun Mangajana meyakinkan bahwa tidak semua jenis produk perlu mendapatkan sertifikat. Ia mengingatkan sertifikat bisa berlaku untuk produk dengan materi dan fungsi, yang mirip, atau satu keluarga. Selama produk masih dalam satu keluarga, satu sertifikat SNI saja sudah cukup.
Meski begitu, tetap saja setiap enam bulan sekali, label SNI akan kedaluwarsa. Jadi baik produsen maupun importir harus kembali memperbarui label dengan biaya yang sama, yakni Rp 10 juta.
Sudarman, dalam konteks sebagai pemilik PT Royal Puspita, produsen mainan, pernah mencoba menjajal pengujian di salah satu laboratorium uji dan sebuah LSPro. Menurut dia ada tiga biaya yang harus dikeluarkan pengaju sertifikat SNI.
Pertama, biaya pengujian Rp 2,5 juta–Rp 3 juta per merek per jenis. Kedua, biaya untuk petugas pengambil contoh (PPC). Biaya PPC meliputi biaya transportasi dan akomodasi. Besarnya tergantung jarak dan lokasi dari domisili kantor PPC hingga ke lokasi pengaju sertifikasi.
Ketiga, biaya sertifikat produk penggunaan tanda (SPPT) SNI. Ongkosnya Rp 5 juta–Rp 7 juta per merek per jenis berlaku enam bulan.
Berangkat dari perincian tersebut dan tanpa memasukkan biaya PPC, pemohon sertifikasi harus merogoh kocek sekitar Rp 7,5 juta–Rp 10 juta setiap enam bulan sekali. Semisal seorang produsen mainan memiliki dua merek, maka biaya yang harus dia keluarkan menjadi Rp 15 juta–Rp 20 juta.
Biaya sebesar itu mungkin tidak masalah bagi produsen yang punya skala bisnis besar. Namun bisa menjadi cerita berbeda bagi produsen kelas UKM. Karena itu, Sudarman malah berkeyakinan pemberlakuan wajib SNI bisa menghambat laju perkembangan produsen mainan lokal kelas UKM.
Mestinya, menurut Sudarman, pemerintah bisa membikin peraturan sertifikasi seperti yang diterapkan untuk produk makanan. “Para produsen kelas UKM itu diperlakukan SPP-IRT saja asal dibatasi wilayah edarnya,” kata dia.
Jika Anda belum tahu, di produk makanan, ada dua izin edar. Pertama, izin yang dikeluarkan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) yaitu POM MD untuk produksi pangan dalam negeri dan POM ML untuk produksi pangan luar negeri atau impor. Kedua, izin yang dikeluarkan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, yaitu Sertifikat Produksi Pangan Industri Rumah Tangga (SPP-IRT). SPP-IRT ini wilayah edarnya lebih terbatas ketimbang POM MD dan POM ML.
Menaikkan harga
Danang memberi masukan lain. Mayoritas lembaga laboratorium uji dan LSPro yang tak lain milik pemerintah, seharusnya, bisa lebih fleksibel dalam membanderol harga bagi produsen UKM.
Kalaupun tak bisa memberikan subsidi atau potongan harga, pembentukan plasma pengaju sertifikasi SNI mestinya bisa dipikirkan pemerintah. “Jadi dibikin seperti payung perusahaan besar yang di dalamnya beranggotakan produsen UKM yang saling patungan untuk mendapat sertifikasi SNI,” beber Danang.
Suara di kalangan produsen kelas UKM setali tiga uang dengan asosiasi. Yuni Yoyok, pemilik CV Omocha Toys, bilang, dari hasil penjajakannya di LSPro TUV Nord Indonesia, dia mesti mengeluarkan Rp 16 juta untuk mengantongi label SNI bagi tiga mainan edukatif. Meliputi produk puzzle, balok, dan kendaraan bongkar pasang.
Sejauh ini Yuni baru bertanya di satu LSPro. Gambaran harga sebesar itu, yang mesti dibayar setiap setengah tahun, cukup memberatkan buat dia. “Seharusnya tidak keluar dana, malah jadi keluar dana tambahan,” kaya Yuni.
Produsen mainan kelas UKM lain, Lingkan Pantow, pemilik Jilsi Toys, mengatakan, sebenarnya dia tak keberatan mengurangi margin untuk membayar label SNI. Namun yang membikin dia keberatan adalah soal masa kedaluwarsa SNI yang terlampau singkat.
Para produsen pun tidak menutup kemungkinan bakal mengatrol harga untuk menutup tambahan dana membayar label SNI. Yuni sudah menghitung bakal bakal menaikkan harga jual 5%–10%.
Sementara, Lingkan masih menghitung kenaikan yang bisa mengompensasi tambahan biaya dan bisa diterima pasar. “Kenaikan harga atau penambahan volume penjualan merupakan opsi yang terbuka untuk mengompensasi biaya sertifikasi yang tinggi,” tutur Lingkan.
Reza Qalbudin, pemilik Beringin Puzzle, juga sudah memberikan sinyal senada. Pasca pemberlakuan label SNI serentak secara nasional Mei depan, produsen dan penjual yang membuka lapak di Pasar Gembrong, Jakarta Timur, ini siap mengganti semua label harga produk. Cuma, sama seperti Lingkan, pria yang sudah berbisnis mainan anak selama 17 tahun ini belum menakar harga jual mainan dia nanti.
Ketiga produsen mainan itu hanya berpegang pada optimisme akan karakter produk yang kuat, yakni mainan yang tak hanya menawarkan kesenangan, tetapi juga pengetahuan. Mereka juga percaya kualitas produk mereka jauh di atas mainan buatan Negeri Panda.
Wah, jadi kalau akhirnya Anda bisa menemukan congklak di pasaran, harganya akan makin mahal, ya?
***Sumber : KONTAN MINGGUAN 23 - XVIII, 2014 Laporan Utama
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News