Reporter: Yudho Winarto | Editor: Sanny Cicilia
NUSA DUA. Terhitung awal tahun 2015, Bursa Efek Indonesia (BEI) mulai menagih biaya pencatatan perdana (listing fee) dan biaya pencatatan tahunan (annual listing fee) jauh lebih besar dari sebelumnya. Langkah ini merujuk pada perubahan aturan pencatatan saham dengan Nomor Kep-00001/BEI/01-2014.
"Kenaikan ini tidak akan memberatkan emiten. Ini kenaikan pertama sejak 14 tahun lalu. Tidak ada yang bisa menyaingi BEI soal tidak menaikkan biaya," kata Direktur Utama BEI Ito Warsito saat dalam acara CEO Networking 2014 bertema Opportunities and Challenges Toward ASEAN Economic Community 2015, di Bali Nusa Dua Convention Center (BNDCC), Nusa Dua, Bali, Sabtu (6/12).
Kenaikan biaya pencatatan awal (listing fee) dibagi berdasarkan papan utama dan papan pengembangan. Emiten pada papan utama akan dikenakan fee Rp 1 juta untuk setiap kelipatan Rp 1 miliar dari nilai kapitalisasi saham. Adapun, minimal biaya pencatatan sebesar Rp 25 juta dan maksimal Rp 250 juta.
Sedangkan, emiten pada papan pengembangan harus membayar listing fee minimal Rp 25 juta dan maksimal Rp 150 juta. Ketentuan listing fee ini mulai berlaku 30 Januari 2014.
Sebelumnya, BEI memukul rata biaya pencatatan di papan utama maupun pengembangan, yakni minimal Rp 10 juta dan maksimal Rp 150 juta, tergantung nilai kapitalisasi pasar. Biaya pencatatan ini harus dibayar paling lambat dua hari sebelum tanggal pencatatan.
Selain itu, BEI juga menaikkan biaya pencatatan tahunan atau annual listing. Semula, biaya pencatatan tahun ini minimal Rp 5 juta dan maksimal Rp 100 juta, tergantung nilai kapitalisasi pasar emiten.
Kini, rentang biaya pencatatan tahunan menjadi minimal Rp 50 juta sampai maksimal Rp 250 juta. Biaya pencatatan tahunan harus dibayar paling lambat hari bursa terakhir di setiap bulan Januari bagi emiten. Adapun, bagi calon emiten wajib membayar annual listing fee di awal.
Jika calon emiten atau emiten telat membayar maka akan dikenakan sanksi berupa denda 2% per bulan dihitung proporsional sesuai hari keterlambatan.
Jika ada terlambat membayar maka pihaknya akan menagih dan diberi waktu untuk melunasi. Jika dalam kurun waktu itu tidak dipenuhi maka perusahaan bisa di-delisting dari bursa
Tapi rupanya, langkah BEI ini menuai reaksi keras dari para emiten Terutama menyangkut annual listing fee. "Sangat keberatan. Fee tahunan di bursa mau dinaikkan, saya nggak tahu dasarnya apa," kata Ketua Umum Asosiasi Emiten Indonesia Franciscus Welirang.
Pria yang lebih akrab dipanggil Franky ini menuturkan, jika menilik bursa luar negeri, tidak ada pemberlakuan biaya tahunan kepada emiten. Untuk itu, aturan ini jelas membebani emiten. Apalagi, kata dia, emiten di pasar modal juga dibebankan iuran oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
"Di luar negeri pungut iuran begitu nggak ada. Ini gara-gara OJK ada iuran, bursa jadi ikutan. Kalau listing fee yang dibayar sekali saat listing saja, itu wajar sekali, tapi kalau tahunan nggak wajar, apalagi dinaikkan, makin nggak ada emitennya nanti. Gayanya BEI sudah kayak gayanya OJK. Ujung-ujungnya emiten yang sengsara," ucapnya.
Pihaknya pun mengaku sudah dua kali mengirimkan surat protes ke BEI supaya meninjau ulang kebijakan itu. Atau setidaknya menetapkan angka kenaikan yang tidak terlalu memberatkan.
Tapi sayangnya, upaya emiten ini tidak membuahkan hasil. BEI tetep keukeuh untuk menjalankan aturan ini. "Kita sudah kirim surat keberatan 2 kali Februari dan November. Kita minta supaya lebih soft untuk ditinjau lagi. Jawaban bursa, tetap diberlakukan," tandasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News