Reporter: Annisa Aninditya Wibawa | Editor: Rizki Caturini
JAKARTA. Sebagai investor konservatif, Arviyan Arifin, Direktur Utama PT Bank Muamalat Indonesia, cenderung hati-hati dalam memutar dana. Dalam berinvestasi, ia tak agresif dan ogah bermanuver.
Pria lulusan Institut Teknologi Bandung (ITB) ini memilih menghindari penempatan investasi yang berisiko tinggi, seperti di pasar saham. Bagi Arviyan, tujuan berinvestasi adalah untuk memperoleh pendapatan tetap. Jadi, investasi merupakan sesuatu yang bisa memberi nilai tambah dan dapat dinikmati di kemudian hari. Maka itu, ia merasa bahwa investasi jangka panjang merupakan pilihan terbaik.
Porsi terbesar investasi Arviyan adalah di properti bisnis. Bankir ini membeli bangunan yang tidak untuk digunakan sendiri, tapi disewakan atau untuk keperluan bisnis agar bisa menghasilkan pendapatan. Saat ini, ia memiliki sekitar lima minimarket yang tersebar di beberapa daerah seperti Purwakarta, Karawang, Bekasi, dan dua unit di Serpong. Investasi ini telah, Arviyan jalankan sejak lima tahun lalu.
Dengan memiliki minimarket, ada dua keuntungan yang bisa ia peroleh, yakni kepemilikan properti dan penghasilan dari perdagangan produk di minimarket itu.
Selain minimarket, Arviyan juga memiliki investasi properti berupa rumah kos di daerah Bendungan Hilir, Jakarta Pusat. Keuntungan bentuk investasi ini hampir mirip dengan kepemilikan minimarket. "Selain mengharapkan untung dari kenaikan harga properti dalam jangka panjang, investasi ini juga memberi pendapatan jangka pendek," ujar dia.
Ia juga memiliki alasan lain memilih strategi investasi semacam itu. Yakni agar bisa menghasilkan return bulanan, sehingga dapat membayar modal yang telah dikeluarkan. Jadi, ia mengumpulkan uang sedikit demi sedikit untuk modal bisnis. Setelah itu, baru ia gunakan hasil bisnis properti tersebut untuk melunasi modal yang digunakan. "Jadi bulu domba diambil dari domba. Hasil investasi ini yang akan membayar sendiri modal yang sudah dikeluarkan," sebut Arviyan.
Takut merugi
Selain properti bisnis, Arviyan juga mengalokasikan 20% investasinya ke sejumlah instrumen dengan risiko moderat. Di antaranya, 5% di deposito, lalu 10% di surat utang Obligasi Negara Ritel (ORI) dan reksadana, serta 5% di mobil antik.
Pria kelahiran tahun 1964 ini berpendapat, deposito merupakan instrumen yang likuid untuk berinvestasi. Ia pun disiplin menyisihkan pendapatan tiap bulan untuk disimpan di bank.
Sedangkan, pilihan berinvestasi di ORI karena instrumen ini cenderung aman dan memiliki yield yang lebih bagus ketimbang bunga deposito.
Alasan keamanan pula yang membuat Arviyan juga konservatif menempatkan dana di instrumen reksadana. Pilihannya jatuh ke produk reksadana pendapatan tetap yang berisiko rendah. Ia mengaku takut merugi apabila berinvestasi di pasar modal.
Sementara, mobil antik juga masuk keranjang investasinya lantaran ia hobi berat dengan mobil lawas. Selain kepuasan, mobil antik juga bisa menjadi wahana investasi karena harganya bisa menanjak. Arviyan sudah lama menyukai mobil antik. Cuma ia tak menyebut berapa koleksi mobil antiknya. Bagi dia, mengoleksi mobil antik memiliki nilai tersendiri.
Ia bahkan berhubungan dengan beberapa kolektor untuk membuka jaringan atau mendapatkan informasi apabila ada yang ingin membeli dan menjual mobil antik. Belum lama ini, ia membeli mobil Mercedes Benz keluaran tahun 1956 dengan harga Rp 30 juta. Perlahan, ia merestorasi mobil tersebut. Kelak, ketika sudah bagus, Arviyan berniat menawarkan mobil itu kepada kolektor yang berminat. Dengan harga lebih mahal tentunya. n
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News