Reporter: Aloysius Brama | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sejak awal tahun 2019, saham-saham sektor infrastruktur tampak memikat mata lantaran terus menghijau. Asal tahu saja, kenaikan sektor ini menempatkannya menjadi sektor paling tinggi pertumbuhannya dibanding indeks sektoral lainnya.
Berdasarkan data situs Bursa Efek Indonesia, sejak awal tahun 2019 indeks ini mengalami kenaikan hingga angka 10,11%. Begitu pula dengan indeks konstituen SMInfra18 yang kenaikannya mencapai 14,61% sejak awal tahun.
Head of Research MNC Sekuritas Edwin Sebayang melihat bahwa peningkatan harga-harga saham emiten infrastruktur tak bisa dilepaskan dari faktor fundamental. Menurutnya, laporan keuangan yang dirilis beberapa emiten sektor industri menunjukkan kinerja yang baik.
Edwin menambahkan, itu baru yang terealisasi sepanjang 2018. “Toh beberapa perusahaan masih punya simpanan proyek untuk jangka waktu beberapa tahun ke depan,” ungkap Edwin. Hal itu membuat kinerja sektor industri diprediksi masih akan berjalan bagus.
Kinerja sektor industri sendiri ia prediksi bisa semakin trengginas bila melihat tanda-tanda Bank Indonesia yang tidak akan menaikkan lagi suku bunganya. “Sehingga pembiayaan tidak akan menjadi faktor yang memberatkan perusahaan. Terlebih sekarang juga lebih banyak perusahaan yang menghimpun dana dari pembiayaan eksternal,” ungkap Edwin.
Hal serupa juga diungkapkan oleh Direktur Avere Investama Teguh Hidayat. Teguh menilai, faktor fundamental emiten lebih kuat menjadi pendukung menghijaunya harga-harga saham emiten infrastruktur. Meski begitu ia juga melihat ada unsur-unsur pertimbangan teknikal seperti misalnya masih terjangkaunya valuasi saham emiten sektor tersebut.
“Dengan melihat faktor fundamental perusahaan tahun lalu yang bagus, potensi raihan dalam jangka waktu panjang yang bisa diraih serta valuasi yang terhitung masih murah, maka sektor infrastruktur bisa menjadi andalan,” kata Teguh ketika dihubungi Kontan, Jumat (5/4) lalu.
Apa yang dikatakan oleh Teguh benar adanya. Sepanjang tahun 2018 lalu, performa sektor infrastruktur memang tidak berjalan mulus. Berdasarkan data situs Bursa Efek Indonesia, pada awal tahun 2018, sektor infrastruktur menempati level 1093 dan terus berfluktuasi di zona merah sepanjang tahun hingga ditutup berada pada level 1083 ketika akhir tahun.
“Maka ketika saat ini indeks infra berada di level 1.167, itu hitungannya masih murah meskipun memang kenaikannya banyak sekali sejak awal tahun,” ungkapnya.
Meski begitu, kedua analis itu tetap memperingatkan investor dengan beberapa resiko yang mengintai. Edwin bilang, sektor infrastruktur rawan terhadap resiko eksternal yang mengintai seperti bencana alam.
“Seperti kemarin misalnya banjir yang merendam jalur tol Trans Jawa di Jawa Timur, hal-hal seperti itu mungkin yang bisa menjadi resiko,” ungkap Edwin. Selain bencana alam, Edwin juga memeringatkan mengenai potensi sepinya penggunaan jalan tol yang sudah dibangun pemerintah.
Sedangkan Teguh lebih menggarisbawahi mengenai potensi sektor infrastruktur yang kerap dipolitisasi oleh pihak-pihak tertentu. Terlebih di tengah iklim tahun politik seperti ini.
“Seperti kemarin misalnya menjelang akhir tahun, bertebaran isu-isu mengenai kecelakaan kerja hingga terancamnya proyek karena tidak memiliki uang untuk melanjutkan pekerjaan,” kata Teguh.
Untuk rekomendasi, Edwin Sebayang menganjurkan para investor untuk memantau saham-saham emiten yang masih memiliki beberapa kontrak proyek seperti JSMR, PGAS, TLKM, EXCL, TOWR, dan TBIG. Sedangkan Teguh Hidayat menganjurkan investor untuk melihat emiten-emiten plat merah.
“Karena pemerintah kan sedang memprioritaskan pembangunan infrastruktur jadi perusahaan BUMN lebih berpotensi terlibat dalam penggarapannya,” jelas Teguh.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News