Reporter: Hikma Dirgantara | Editor: Wahyu T.Rahmawati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Tren penerbitan produk reksadana baru sepanjang tahun ini bisa dibilang lesu. Merujuk data dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK), hingga akhir Maret 2021, hanya terdapat delapan produk reksadana terbuka baru. Reksadana pendapatan tetap memiliki lima produk baru sepanjang tiga bulan pertama tahun ini.
Kemudian, terdapat dua produk baru reksadana campuran dan satu produk baru reksadana ETF. Sementara reksadana indeks dan reksadana pasar uang tidak memiliki produk baru. Sedangkan reksadana saham justru berkurang dua produk.
Reksadana terproteksi yang biasanya secara rutin memiliki produk baru, justru berkurang delapan produk sepanjang kuartal pertama 2021. Kini, jumlah reksadana terproteksi hanya sebanyak 865 produk. Penurunan ini semakin memperparah susutnya produk reksadana terproteksi. Padahal, pada akhir Maret tahun lalu jumlahnya masih 892 produk.
Head of Investment Research Infovesta Utama Wawan Hendrayana mengungkapkan, reksadana terproteksi memang sedang dilanda sentimen negatif sehingga peluncuran produk baru pun terhambat. Sepanjang tahun lalu misalnya, banyak produk reksadana terproteksi yang sudah jatuh tempo, tapi tidak diganti dengan produk baru.
Baca Juga: Walau IHSG naik tipis, reksadana pasar uang tetap jadi yang terbaik di pekan lalu
Hal ini tidak terlepas dari kondisi tahun lalu yang minim penerbitan obligasi korporasi sehingga Manajer Investasi cukup kesulitan mencari underlying asset reksadana. “Sementara tahun ini yang seharusnya jadi momentum penerbitan reksadana terproteksi justru terganggu seiring adanya wacana pemangkasan pajak penghasilan (PPh) atas bunga obligasi dari 15% jadi 10%. Padahal, pada tahun lalu pajak reksadana sudah naik dari 5% menjadi 10%,” kata Wawan kepada Kontan.co.id, Senin (19/4).
Wawan menjelaskan, kini besaran pajak pemegang obligasi dan pemegang reksadana yang sama-sama 10% berpotensi membuat reksadana terproteksi tak lagi menarik, khususnya bagi kelompok investor institusi. Pasalnya, sebelumnya investor bisa menghemat biaya pajak dari 15% menjadi 5% saja dengan memegang reksadana terproteksi.
Namun, kini hal tersebut tak akan terjadi lagi. Apalagi, jika memegang reksadana, investor masih akan dikenai biaya MI dan bank kustodian. Sehingga pada akhirnya, ketimbang memegang reksadana terproteksi, investor bisa langsung memegang obligasi.
“Ini pada akhirnya akan mengganggu penerbitan reksadana terproteksi ke depan. MI bisa khawatir peminat reksadana terproteksi menjadi minim karena investor institusi seperti asuransi maupun perbankan akan beralih pegang obligasi,” terang Wawan.
Baca Juga: Infovesta Utama prediksi sepekan ini pasar saham dan SBN masih akan fluktuatif
Wawan meyakini dampak pemangkasan PPh obligasi akan turut mengubah industri reksadana secara jangka pendek. Bukan hanya peluncuran produk reksadana terproteksi yang berkurang, tapi dana kelolaan pada produk tersebut juga akan berkurang.
Kendati demikian, ia meyakini kebangkitan investor ritel akan menjadi penopang pertumbuhan dana kelolaan industri reksadana ke depan. Selain itu, ia mengingatkan, tak ada kaitan antara produk baru dengan kinerja industri reksadana. Karena banyak juga investor baru yang lebih memilih subscribe ke existing product, karena sudah punya kinerja historis. “Yang terpenting itu bukan seberapa banyak produk baru yang diluncurkan, tapi seberapa banyak pertumbuhan dana kelolaan,” tutup Wawan.
Baca Juga: Simak kinerja reksadana terbaik di pekan lalu
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News