kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45935,34   -28,38   -2.95%
  • EMAS1.321.000 0,46%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Saham gocap dihapus, kritik mulai berdatangan


Senin, 19 September 2016 / 07:00 WIB
Saham gocap dihapus, kritik mulai berdatangan


Reporter: Dityasa H Forddanta | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie

JAKARTA. Rencana Bursa Efek Indonesia (BEI) menghapus batas bawah harga saham alias saham gocap menuai pro kontra. Di satu sisi, BEI berharap penghapusan batas bawah harga saham bisa menghidupkan saham-saham yang tidak likuid.

Namun di sisi lain, kebijakan ini bisa berefek negatif bagi investor yang memegang saham di bawah harga Rp 50 per saham. Bahkan, aturan tersebut bisa menggerus pendapatan komisi sekuritas.

Pelaku pasar juga menyoroti proteksi terhadap para investor. Tidak sedikit investor ritel yang sahamnya tersangkut di harga bawah. Jika batas saham gocap dihapus, berarti saham di bawah harga Rp 50 ikut ditransaksikan di pasar reguler. Artinya, harga saham bisa menyentuh Rp 1 bahkan nol rupiah.

Ini mungkin saja terjadi. Sebab, jika batas dihapus, mekanisme pasar akan menjadi seperti instrumen waran yang tak memiliki batas bawah. "Itu yang masuk waran, ada yang harganya jadi Rp 1 bahkan nol. Mereka yang masuk waran rugi gede-gedean itu," ungkap Direktur Erdhika Elit Sekuritas, Tjiong Toni, kepada KONTAN, akhir pekan lalu.

Penghapusan batas saham gocap juga berpotensi mengganggu bisnis para broker, baik dari sisi kinerja maupun operasionalnya. Misal, kebijakan ini bisa membuat sistem trading menjadi lemot.

"Soalnya, kalau semula minimal transaksi 1 lot dengan saham harga Rp 50 jadi Rp 5.000, kemudian jika ada saham harga Rp 1 dan transaksi hanya 1 lot, maka menjadi Rp 100," imbuh Toni.

Ketua Asosiasi Perusahaan Efek Indonesia (APEI) Susy Meilina mengungkapkan hal senada. Proteksi investor dan iklim bisnis broker yang kondusif harus menjadi perhatian utama. Andai ada investor yang beli saham Rp 1 miliar di harga Rp 1 per saham, maka bisa naik menjadi Rp 2. Investor tersebut sudah untung 100%, portofolionya juga bertambah menjadi Rp 2 miliar.

Kelihatannya untung, lalu investor tadi terpancing menambah terus portofolionya hingga Rp 5 miliar misalnya. Apes ketika sudah sampai level itu, tiba-tiba harganya anjlok, bahkan kembali ke Rp 1 per saham.

"Membuat harga saham anjlok itu enggak sulit, lho," imbuh Susy.

Belum lagi dari sisi bisnisnya. Seberapa besar pengaruhnya ke bisnis broker mungkin perlu dihitung detail, khususnya seberapa besar transaksi harian saham gocap yang hanya bisa dilakukan di pasar negosiasi itu. "Tapi, pasti ada pengaruhnya," kata Susy.

Sekuritas yang memiliki bisnis broker diperbolehkan mengempit sejumlah saham emiten. Ini tercatat sebagai salah satu aset mereka. Anggaplah sebagian saham itu adalah saham gocap. Lalu, batas saham gocap dilepas. Kemudian ada saham yang harganya anjlok ke Rp 1 atau bahkan nol.

Sudah bisa ditebak, jika skenario terburuk ini terjadi, maka kondisi keuangan broker terganggu karena sejumlah saham yang dipegang menjadi tidak memiliki harga lagi. "Modal kerja bersih disesuaikan (MKBD) langsung kena. Jadi, pasti ada yang terpengaruh jika batas saham gocap dihapus," kata Susy.

APEI bertemu otoritas

APEI mengaku akan membicarakan rencana kebijakan ini bersama otoritas. Apakah kebijakan ini membuat transaksi harian di pasar reguler lebih likuid. Kalau iya, seberapa signifikan? APEI menegaskan pasti mendukung jika kebijakan ini positif ke industri pasar modal.

Tapi jika lebih banyak implikasi negatifnya, APEI memilih otoritas menyempurnakan aturan lama. "Sudah ada pasar negosiasi, kenapa itu dihilangkan?" imbuh Susy.

Menurut dia, aturan yang sudah ada selama ini, khususnya soal saham gocap, seharusnya dibuat lebih detail. Kenapa Rp 50, kenapa bukan Rp 100 atau nominal rupiah lainnya.

Susy menyebut, BEI harusnya membuat kebijakan lebih adil daripada mengubah aturan di tengah jalan. Misal, BEI bisa mewajibkan emiten melakukan buyback jika harga sahamnya terus mendekati titik nol. Jadi, ketika investor bisa memperoleh kenyamanan dan kepastian.

Sebab, meski harga saham terus turun, kecil kemungkinan harga mendekati nol karena emiten bakal melakukan buyback. "Yang fair, kan, seperti itu, karena kepentingan investor juga perlu diperhatikan," tegas Susy.

Toni menambahkan, pasar modal lokal akan ideal jika ada aturan terkait hak asosiasi investor menempatkan direksi ke jajaran manajemen emiten. Selama ini, peraturan yang ada adalah investor yang memegang 10% saham emiten hanya berhak mengusulkan satu nama calon direksi, tak bisa menempatkan langsung.

Toni menilai, jika usulan ini diterima, maka membuat penerapan GCG lebih optimal. Jika ada direksi yang ditempatkan, emiten tidak menjadi semena-mena. Sayangnya, peraturan ini belum ada di pasar modal lokal.

Toni memberi contoh kasus. Emiten A, harga sahamnya Rp 50 dan memiliki kapitalisasi pasar Rp 2,5 triliun. Saat batas saham gocap dibuka, harga saham emiten A turun jadi Rp 5 atau bahkan Rp 1.

Otomatis, kapitalisasi pasar emiten itu juga turun, misalnya jadi Rp 50 miliar. Skenario seperti ini mungkin saja memunculkan oknum yang ingin men-delisting saham dengan harga yang lebih murah. Mereka buyback dengan harga hanya Rp 50 miliar, bukan Rp 2,5 triliun.

"Andai saya emiten, mending saya delisting di harga bawah, dong," imbuh Toni. Tapi jika peraturan soal penempatan direksi berlaku, setidaknya ada satu pihak yang memperhatikan kepentingan investor sekaligus mengawasi emiten bersangkutan. "Jadi, emiten enggak semena-mena," ungkap Toni.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×